. ࣪✯ཻ𖦆🎸᭝ 5

27 8 1
                                    

Hima terdiam kaku saat menatap ibu tirinya yang sudah berdiri tepat di depan ruangan kakaknya dirawat. Ia menjadi khawatir, takut ibunya melakukan sesuatu yang sangat tidak ia inginkan. Kakinya bergerak cepat, berdiri di sebelah ibunya.

"Jangan menatap Ibu seperti itu, Ibu hanya ingin melihat perkembangan kakakmu."

Hima menghela napas sejenak. "Setidaknya ibu duduklah."

Wanita paruh baya itu menatap putrinya sejenak, kemudian duduk di sebelah putrinya.

"Ibu minta maaf. Tetapi kejadian hari itu hanya antar kami, bukan antar kamu yang sebagai adik tirinya."

Napas Hima tertahan. Gerakannya kaku, ia berusaha keras untuk tidak mengingat bahwa ia dan Neron hanyalah saudara tiri.

"Mau bagaimana pun, sejak kecil, Kak Neron sudah menganggap Hima sebagai adik kandung, jadi Hima juga pasti memperlakukan Kak Neron begitu."

Lengang sejenak. Napas lemah Neron mengisi keheningan itu. Hima menoleh ke arah ibunya.

"Ibu, sudah bertahun-tahun ibu tahu kalau Kakak suka bermusik, kenapa baru saat itu semuanya menjadi kacau? Kenapa Ibu mempermalukan diri Ibu sendiri?"

Sonya, ibu kandung Neron sekaligus mantan ibu tirinya Hima, hanya bisa terdiam. Sudah beberapa tahun ia menikah dengan laki-laki yang melepasnya dari sebutan janda, kini keduanya kembali mengambil julukan mereka masing-masing, janda dan duda. Alasannya sederhana, tapi Sonya malu mengatakannya. Ia senang bias melihat perkembangan Hima, tapi di saat yang bersamaan, ia merasa HIma terlalu ikut campur urusan 'keluarganya'.

"Himalaya, ibu boleh minta tolong untuk jagain Neron? Ibu akan segera pindah dari kota ini, ada pekerjaan yang harus Ibu urus. Maaf Ibu tidak pernah menjadi ibu yang baik untuk kamu ataupun Neron. Ayahmu, dia orang yang baik, ibu tidak mau dia menyia-nyiakan waktunya mengurus wanita seperti ibu. Maaf ya, Hima.

***

Ruangan kelas terlalu berisik di pagi hari, tak menyisakan sebuah tempat kecil tanpa suara di ruangan itu. Tubuh kecil Hima terus mencari ruang untuk mendapatkan ketenangan miliknya sendiri. Ia menyumpal telinganya dengan handsfree, dan mulai mendengarkan lagu yang akan segera ia nyanyikan.

"Woah, Kakak bermain gitar?"

Neron tersenyum lebar, gitar merahnya sangat mencolok, membuat sang adik kecil terus menatapinya. "Kamu mau coba main, Hima?"

Hima mengangguk semangat, ia menempelkan pantatnya ke lantai, dan mengambil gitar yang sudah diserahkan Neron. Jari mungilnya berusaha menggapai tanda khusus untuk kunci gitar, perlahan ia mulai menekan senar, yang satunya berusaha untuk memetik.

Petikan pertama Hima, fals, membuat Neron tertawa lepas. Wajah Hima memerah, kemudian memukul Neron dengan kesal. Hima menyingkirkan gitar itu, tangannya terasa perih saat menekan senar tadi.

"Caranya seperti ini." Neron kembali mengambil gitarnya, bersiap, kemudian memetik. Iringan nada dari lagu klasik yang dipetik dari gitar listrik, hasilnya tak sama, suaranya lebih berat, tapi petikan itu berhasil membuat hati Hima tergerak.

"Suatu hari nanti, Hima mau membuat lagu untuk kakak!"

***

Hima memperhatikan Kira yang sudah sibuk berbicara dengan Simon. Wajahnya merona, cara bicaranya penuh semangat.

"Tidak, anak itu memang selalu bersemangat, tapi kali ini berbeda. kenapa ya? Sebelumnya juga dia terlihat senang sekali diberi pekerjaan sama kak Simon," pikir Hima sejenak. Baginya, Kira terlihat seperti sedang berbunga-bunga.

Hima menggelengkan kepalanya, tangannya mulai sibuk memperbaiki kunci gitar, sambil sesekali memetiknya. Di sisi lain, Arga sudah sibuk memukul drumnya, sambil sesekali menahan hi-hat dan memulai memukul drum dari awal setelah ia menggeleng dan melenguh keras.

Orion, hanya sibuk memperhatikan kertas, kemudian bergumam tidak jelas. Tangannya yang lain sibuk mengatur kunci, kakinya mengentak pelan, dan kepalanya ikut mengangguk, seolah-olah sedang mendengarkan musik.

"Hima, kamu mau nulis lagu?"

Seluruh mata beralih pada Orion, membuat Arga dan Simon mendekatinya secara tidak sadar. Mereka bukannya tidak setuju, tapi merasa tidak adil.

"Kenapa tidak bicarakan dulu pada kami?" Arga berseru pelan.

"Toh kalian juga nggak akan nulis lagu, 'kan?" Orion menatap kedua sahabatnya, tangannya yang memegang kertas ia turunkan, supaya bisa fokus berbicara.

"Y-ya seenggaknya kita bicarakan dulu, Ri. Lu main gas aje, siapa kagak kaget. Kalau didiskusiin bareng, nanti kan gua bisa ngasih solusi, gitu." Simon membalas.

Orion menghela napas sejenak. "Soalnya kalian udah pasti gatau mau nulis lagu tentang apa, iya, 'kan?"

Keduanya salah tingkah, dan mengangguk. "Iya bener sih. tapi kan-"

"Udah, ye, udah. Kan udah gua bilang nih ke kalian. Jadi kagak ada lagi protes. Jadi, Hima, gimana?" Orion mengalihkan pandangannya, menatap Hima yang sudah mematung.

"Beneran boleh? Mau! Saya mau!"

Senyuman lebar terukir di wajah Orion, ia merasa sudah membuat hati dari adik temannya senang, dan tinggal sedikit lagi bisa memenangkan hati gadis itu. tapi ia sadar, masih banyak rintangan yang harus ia lalui.

"Mau bikin lagu tentang apa?" Kira bersuara, mendekati Hima.

Hima terdiam sejenak, dahinya mengkerut, berusaha memikirkan jawaban terbaik darinya. "Tentang kakak saya!"

Simon menghela napas pasrah, ia mengacak rambutnya, dan kembali ke tempat ia sebelumnya. Benar-benar brother dan sister complex yang sulit sekali dijauhkan.

***

"Buat adik gua, Ri. Gua pengen kasih dia satu lagu sebagai ucapan terima kasih dari gua."

Orion menatap Neron yang tengah menulis lirik lagu, sambil sesekali memetik gitarnya. Sudah dua jam seperti itu, tidak ada perkembangan sedikit pun. Sesekali Neron mencoret kertasnya, kemudian mengeluh.

"Siapa pun yang lihat lagu ini bakal ngira kalau lu lagi ngasih lagu ini buat pacar lu, bukan adik lu, Ner." Orion berdiri di depan Neron. Ia tidak habis pikir melihat sahabatnya yang sangat-sangat menyangi adik tirinya melebihi apa pun.

Neron tertawa renyah. "Ri, kalau lu jadian ama adik gua, jangan bikin dia nangis ye. Bokapnya udah kayak gitu, sibuk kerja, nyokap gua juga ga terlalu bisa mendekatkan diri ke dia. Jadi gua juga ga bisa ngelepasin dia gitu aja. Dia terlalu rapuh. Bentukannya aje yang sok kuat, aslinya cengeng parah."

"Waah sekarang gua bingung, Ner. Lu lagi jelekin sifat adik lu atau lagi ngucapin kata-kata sayang."

Neron tertawa renyah. Mata Orion menangkap lebam biru di lengan kanan Neron. Ia kaget bukan main. Sahabatnya satu itu selalu tersenyum riang seolah-olah tak terjadi apa-apa. Bahkan di saat mereka hanya berdua menunggu personil yang lain, Neron tetap tidak menceritakan apa-apa padanya.

Orion sudah pada batas kesabaran menunggu Neron menceritakan sesuatu padanya. "Ner, lu tau kan, kalau lu bisa cerita apa aje ke gua."

Neron menoleh, wajahnya sendu, kemudian tersenyum lebar. "Gua kagak apa-apa, Ri. Santai."

Kagak apa-apa, apanye, di rumah sakit, 'kan lu sekarang? Orion benci dengan Neron yang tidak pernah mau bercerita dengannya.

Kagak apa-apa, apanye, di rumah sakit, 'kan lu sekarang? Orion benci dengan Neron yang tidak pernah mau bercerita dengannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Himalaya And The Broken Band [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang