Arga melenguh panjang di atas kasur. Ia menghabiskan hari kamisnya di rumah, tidak berniat datang ke sekolah. Padahal dia bukan murid pintar, bahkan peringkatnya berada di enam terbawah. Salah-salah, dia bisa tidak lulus karena absen yang banyak. Belum lagi ujian kelulusan yang akan menambah beban pikirannya.
"Mikirin bakal ujian matematika aja udah stress. Lu gimana bisa gitu ya, Ner, bisa semua pelajaran, bisa musik, bisa bergaul ama banyak orang. Apa lu nggak tertekan?"
Arga memejamkan matanya, mulai mengenang masa lalu.
Di kepalanya terbayang sosok pemuda tinggi yang selalu membantunya belajar atau pun bermain musik. Pemuda yang selalu ramah kepada semua orang, pemuda yang merupakan sahabat baiknya sejak duduk di bangku kelas satu SMA.
Arga, yang masih enam belas tahun saat duduk kelas satu SMA, murid pendiam, yang hanya tertarik pada drum, berhasil menarik Neron dengan pesonanya. Mereka membentuk band, yang awalnya hanya mereka bertiga, Neron, Orion dan dirinya. Lalu, Neron menambah Rendi dan Simon. Mereka membentuk keluarga mereka sendiri dengan tameng bermusik.
"Yah, gua harap sih lu bisa lebih interaktif aja ke orang-orang, Ga. Soalnya, semakin lu diam, lu bakal semakin dikucilkan. Buka diri lu, buat orang-orang nyaman dengan keberadaan lu." Neron bersuara, memberikan sebuah pendapat untuk sahabatnya.
Arga menggaruk kepalanya. "Tapi, 'kan, lu tau gua gimana, Ner? Ngomong sama orang banyak itu bikin emosi gua tambah parah. Gua malah takut bakal mual dan marah-marah."
"Satu-satunya cara menghilangkan rasa takut lu adalah dengan melawan rasa takut itu sendiri. Gua yakin dokter lu setuju ama gua, tapi pasti dia nyuruh lu dengan cara perlahan. Makanya, Ga, pelan-pelan aja. Lu bisa ngomong ama gua, atau ama anak band lain aja udah sebuah perkembangan, 'kan?"
Arga mengangguk pelan. Stik drum terus dimainkannya. Pikirannya mulai mencerna kalimat Neron. Memang benar, dia bisa berbicara tanpa beban dengan Neron belakangan itu. Bahkan tidak merasa mual sedikit pun. Biasanya, jika berbicara cukup lama dan saling tatap-tatapan, Arga pasti akan muntah karena mengingat masa lalunya yang sangat memuakkan.
"Ga, mereka itu sampah. Lu kagak perlu takut ama mereka. Kalau perlu bilang ama gua, atau yang lainnya. Kita pasti bantuin lu."
"Tapi, gua jadi kagak pernah bantuin lu, Ner." Pikiran Arga kacau.
Ia tidak suka mengingat itu. Ia selalu dibantu oleh Neron, tapi ia tidak pernah membantu Neron, hal itu membuatnya muak sekaligus benci terhadap dirinya sendiri. Ia sampai menganggap bahwa ia tidak cocok menjadi temannya Neron. Arga benci terhadap dirinya sendiri saat mengingat kejadian di mana Neron mengalami trauma terburuk dalam hidupnya, karena hanya Arga satu-satunya mata yang melihat dengan jelas kejadian hari itu.
***
Ruangan kelas menjadi riuh saat Orion dan Simon memasuki kelas Hima dan Kira. Mereka berdua sendiri kaget saat keduanya sudah duduk di hadapan mereka.
"Eh, kenapa kalian ke sini?" Kira bersuara.
Simon tertawa kecil. "Kami pikir Arga di sini. Kami kagak lihat dia di mana-mana soalnya. Dan soal jadwal latihan, mulai hari ini, setelah pulang sekolah kita akan latihan, apa kalian bisa?"
Hima dan Kira saling tatap. Tentu tidak, mereka harus mengikuti ekskul vokal sepulang sekolah. Tidak memungkinkan jika mereka absen terus setiap hari.
"Tapi kami ada eskul vokal."
"Oh, itu! Tenang saja. Kami termasuk ke eskul musik. Neron sudah mempersiapkan ini sejak kelas satu, membentuk band menjadi cabang ekskul dari musik. Ada dua cabang, vokal dan band. Tapi membuat band juga harus mengikuti persyaratan dan prosedurnya. Kami akan menambah kalian dalam daftar anggota band." Orion membalas Kira. Jawabannya mantap, tidak ada celah sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himalaya And The Broken Band [Tamat]
Novela Juvenil[Belum Revisi] Kehidupan itu tidak mudah. Himalaya, gadis muda yang berusaha bangkit atas masalah yang terus menghampiri dirinya. Ia mengemban semua masalah itu sendirian setelah kakaknya mengalami koma. Tapi, semua itu berujung kesedihan yang semak...