"Julian!"
Zenith berteriak keras sampai-sampai dengungan hampir menyerang telinga sang lawan bicara. Langkah yang tadinya hampir menapak ke petak lantai keramik di depannya kini kembali lagi demi menyeimbangkan tubuh. Kerahnya hoodienya tidak mencekik leher karena efek dari tarikan ke belakang secara tiba-tiba, melainkan tertahan oleh kedua bahu. Tetapi tetap saja menjengkelkan.
Ia berdecak dan memukul sekali dada laki-laki yang dipanggil Julian, mendorongnya supaya menjauh. Namun memang dasarnya kekuatan mereka cukup berbeda, yang didorong tidak bergerak sama sekali, malahan terkekeh geli. Membuat Zenith enggan meladeninya lagi.
Julian merogoh ke dalam ranselnya untuk mengambil sesuatu tanpa melepaskan pegangannya di pakaian Zenith. Julian tahu betul jika dia tak lagi memeganginya, pasti Zenith akan langsung lari menghindar. Dia masih ingin Zenith di sini. Bukan, dia masih mau memberikan sesuatu padanya.
Dengan cepat Julian menaruh sebuah bungkusan makanan ke dalam tudung hoodie putih Zenith. Zenith yang merasakan beban di pakaiannya bertambah pun langsung menatap curiga padanya. Ia begitu waspada kalau-kalau si manusia ini menjahilinya di pagi hari. Akan jadi tidak lucu nantinya. "Hei, apa yang lo taruh?"
Zenith segera meraih benda yang diletakkan Julian dan mencoba mengenalinya. Bola matanya membesar begitu menyadari barang yang berada di tangannya adalah sebuah makanan yang sangat familiar. Karena penasaran ia membaca label kedai yang menjualnya. 'Sufway' tertulis jelas di sisi lain kemasan. Zenith mengangguk pelan setelah mengetahuinya.
"Ini kan deket rumah gue," terka Zenith ketika mengangkat roti isi yang masih terasa hangat tadi. Matanya menyipit penuh curiga. Ia kemudian mulai berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "lo tadi mampir?"
"Enggak kok." Julian menjawab dengan santai. Ia menyandarkan sebelah bahunya ke dinding yang berada di dekatnya ketika merasa lelah berdiri. Sayangnya tidak ada bangku di sekitarnya, membuatnya harus menahan diri untuk duduk di kelasnya nanti. Urusannya belum selesai, pikirnya.
Zenith meiringkan kepalanya. Ia heran dengan jawaban dari Julian hingga tak terasa ia menarik napas dalam. Bagaimana bisa seseorang membeli makanan tanpa pergi ke penjualnya? Tidak ada kedai semacam itu di daerah sini. Terlebih, tidak mungkin menggunakan jasa pengantar makanan, karena tempat makan itu belum melayani delivery. Aneh banget. "Terus kok bisa beli ini tanpa kesana?"
Julian menaikkan sebelah alisnya di sela perhatiannya pada dirinya. Ia menyilangkan kedua lengannya saat memalingkan wajahnya, menatap ke tangga di depannya. "Tadi dikasih sama cewek kelas sebelah," jelasnya.
"Hah??" Zenith membeo.
"Iya dikasih, gue kenyang. Buat lo aja." Julian mengulang sekali lagi ucapannya yang dirasa kurang jelas ditangkap oleh Zenith. Masih pagi sudah lemot, gimana mau menangkap pelajaran nanti. Memikirkannya membuat Julian menggeleng kepala.
"Lo gila ya??" Zenith masih tidak mengerti perkataan Julian. Bukan karena otaknya tak mampu untuk berpikir, tapi sepenuhnya karena tidak mengerti jalan pikiran Julian. Apakah ia masih waras sehingga memberikan barang pemberian orang lain padanya? Bagaimana jika orang itu melihatnya? Mungkin saja orang tersebut menyukai Julian hingga sampai pada titik menepis rasa malu demi memberi hadiah. Sudah pasti orang itu akan sedih bila melihat ini. 'Dasar bodoh,' ejeknya dalam hati.
Julian menggeleng, ia mengangkat bahu. Memangnya apa hubungannya memberi makanan ke teman dengan kewarasan? Apa salah memberi makanan ke teman? Menurut Julian justru itu merupakan sebuah hebaikan hati yang patut disyukuri oleh Zenith. Ia tahu betul situasinya. Karena itu ia memilih tempat di mana tidak akan kathuan. Sehingga tidak kana da hati yang patah dan salah paham. Lagipula ia masih kenyang. Akan sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caroline
Teen FictionJulian tidak tahu, bahwa dibalik lagu-lagu yang sering ia dengarkan, tersimpan sebuah rahasia besar.