Jung Jaehyun pernah remaja.
Ketika mata itu sedikit menyipit akibat teriknya paparan sinar ultraviolet, Jaehyun bisa menangkap beberapa kenangan. Beberapa memori yang lepas dari ikatannya. Meronta-ronta saat gedung berisi penerus bangsa itu menyapa netranya. Tapak kaki riang yang bersahutan dimana-mana ketika bel pulang didentangkan, keluhan dan protes saat sang guru membebankan setumpuk tugas hingga mereka terpaksa tinggal di gedung itu sampai jam 7 malam. Jaehyun pernah terjebak dalam dunia sekolahnya. Dimana ia hanya berkutat bersama buku-buku non-fiksi membosankan yang ampuh membuatnya menguap lima kali dalam setengah menit.
Anak-anak itu berhamburan bak burung-burung migrasi di angkasa. Riuh ricuh mulai merangsek ke dalam rungu. Ketika itu, Jaehyun menegakkan postur tubuhnya. Meninggalkan dinding di belakangnya yang sempat menjadi tempat peristirahatan punggung lebarnya. Netranya mengamati setiap murid yang keluar dari dalam sana. Semburat penuh kegembiraan itu seakan mendongengkan seberapa bahagianya mereka saat jadwal benar-benar berakhir.
Park Jisung. Park Jisung. Park Jisung.
Batinnya menyebut nama itu berulang kali. Di saat matanya tak kunjung menemukan sosok paling tinggi di antara anak-anak itu, Jaehyun semakin tertarik memperhatikan. Sedikit mengulas senyumnya ketika beberapa siswi nampak tersipu malu menatap tampangnya.
Bagai marmut kecil yang kehilangan arah, Jisung akhirnya muncul di manik gelap Jaehyun. Membuat senyum itu melebar. Semakin Jisung mendekat, semakin pudar pula senyuman Jung Jaehyun. Menyadari langkah berat dan habisnya stok semangat, membuat Jaehyun mulai paham bahwa hari ini bukan hari yang cukup baik untuk pemuda Park itu.
"Lesu banget kayak nggak pernah makan satu abad." Jaehyun memukul pelan pundak Jisung sebagai candaan kecil. Tapi si korban justru hanya mengulas senyum samarnya. "Laper ya? Hari ini mau makan apa? Kimchi sujebi? Dakbal? Samgyetang? Jjampong? Patbingsoo enak juga kalau dimakan siang-siang gini. Ah iya tadi aku sempat ketemu sama bungeoppang, kamu suka kan? Mau nggak? Atau—" Jaehyun berhenti membombardir Jisung dengan semua tawaran itu ketika hidungnya mengendus sesuatu. "Kamu minum susu lagi ya? Aku kan bilang kalau kamu seharusnya kurangin susu biar nggak terlalu tinggi lagi."
Helaan nafas menyahut pendek. Tak tertarik untuk memberi jawaban, Jisung menunduk. Terik matahari benar-benar berhasil memanggang habis semua suasana hatinya. Mengubahnya menjadi kesal dan marah yang harus ia tahan.
"Jisung, hari ini kamu baik-baik aja kan? Jangan bohong, nggak usah takut. Aku nggak marah sedikitpun tentang kejadian di tempat karaoke. Sekarang, kamu bisa bilang apapun ke aku. Aku nggak akan marah." Jaehyun berusaha membujuk pemuda di sampingnya. Memberinya pengertian supaya si Park itu mengucapkan segala sesuatu yang menimpanya hari ini.
Mulanya, Jisung punya niat besar untuk mengubur dalam-dalam skenario hari ini. Tapi ketika sadar bahwa dia masih punya sosok ayah jadi-jadian yang berjanji untuk tetap berada di sampingnya, Jisung tahu bahwa dia harus tetap berjuang. Tak seharusnya dia membangkitkan sisi kekecewaan lain di dalam diri Jung Jaehyun lagi. Ia pikir, ia masih bisa menahannya dengan kuasanya sendiri. Berlagak seolah semua itu tak pernah terjadi padanya.
Pada akhirnya, manusia akan selalu sampai pada fase menyerahnya sebelum berjuang kembali. Yang Jisung pertanyakan selama ini hanyalah sebatas keadilan. Ini menyakitkan ketika netranya menyaksikan sejuta kaum yang tersenyum bebas sementara dia seolah menjadi satu-satunya insan paling menderita di bawah kebahagiaan semua itu.
Dulu, Jisung selalu mengajukan pintanya kepada orang tuanya. Meminta mereka berdua untuk melimpahkan banyak atensi untuk kehadirannya. Lantas ketika Tuhan menghadiahinya dengan sesosok pria kokoh yang kelebihan tampang tampannya, Jisung semestinya tidak mengesampingkan kehadiran Jaehyun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATTENTION ✔️
FanficJung Jaehyun sempat mengira bahwa dirinya adalah manusia paling menderita di dunia ini. Mungkin dia terlalu nyaman menutup mata sehingga tak menyadari betapa kejamnya dunia dan berapa banyak miliaran orang di luar sana yang nasibnya lebih buruk keti...