quarantine.

5 3 2
                                    

Sudah sejak tadi, jemari kanannya bermain main mengetuk permukaan kayu meja belajar. Menimbulkan bunyi gaduh yang menyelimuti sunyinya kamar. Suara helaan napas berat pun menyusul. Kini lehernya Ia miringkan kekanan dan kiri, berharap sesuatu juga berbunyi dari sana. Pandangannya sudah lesu menatap lembaran kertas dihadapan.

"Gak ngerti semua.." Menggerutu, garis wajahnya hampir saja menampakkan raut putus asa- kalau saja suara ketukan pintu kamar tidak muncul.
"Vira, Savira!" Suara ibunya memanggil.
Savira, tidak merubah ekspresi lesunya tetap menoleh kearah pintu yang masih tertutup. "Masuk, Bu."

Pintu terbuka, ibunya berjalan mendekat membawa segelas susu dan satu toples makanan ringan. Meletakkannya diatas meja, agak jauh dari buku buku milik anaknya. Sang ibu memerhatikan apa yang dikerjakan Savira.

"Sudah malam tapi tugasmu belum selesai?"
Savira mengangguk, "Gak ngerti, Bu. Belajar daring gak ada yang bisa aku ngerti, gak enak, jadi gak jelas penjelasan dari guru."
Ibu tersenyum tipis, menepuk pelan bahu anaknya. "Sabar, ini juga yang terbaik buat kamu, buat semua teman teman dan guru. Coba kamu lihat tuh, teman kerja bapak di pabrik sudah banyak yang kena virus, 'loh, memangnya kamu gak takut?"

Sekarang Savira merasa sedih. Tiba tiba terpikirkan bagaimana serunya masuk sekolah, bertemu banyak teman dan bermain bersama. Ya, sebetulnya bisa saja sekolahnya membiarkan murid muridnya untuk tetap belajar tatap muka secaraa bergantian dengan syarat wajib harus tetap menjaga jarak dan lain sebagainya. Tapi Savira sendiri merasa tidak yakin jika aturan itu akan dijalankan. Karena dirinya- mungkin juga dengan teman temannya- akan tidak tahan untuk tidak bertemu sambil berkerumun. Rasanya aneh sekali kalau bertemu tapi harus berjauhan.

"Lihat tuh bapak, kerjaannya jadi berkurang karena pengaruh pandemi." Ibu melanjutkan, tangannya kini sedikit memijat pelan bahu Savira, memberi semangat. "Jadi, sebisa mungkin kamu harus terus rajin belajar, ya? Usaha belajarmu gak akan mengkhianati hasil."

Savira menoleh, tersenyum menatap ibunya. "Makasih ibu. Makasih juga buat makanan yang selalu ibu antar ke kamar setiap aku belajar. Aku juga berharap virus ini cepat hilang. Supaya aku bisa sekolah, bertemu teman teman, bapak bisa kerja dengan lancar terus ibu dan kita semua selalu sehat."
"Nah gitu dong," Ibu tertawa pelan, mulai berjalan meninggalkan kamar. "Jangan sampai kemalaman ya begadangnya, Vira. Takut besok kamu kesiangan buat kelas daring."
"Siap bu!" Savira hanya berteriak, tidak berniat menoleh, hanya mendengar suara pintu kamarnya tertutup rapat.

Benar juga apa yang dikatakan ibu. Ia tidak bisa untuk terus menerus mengeluh pada kenyataan. Pandemi memang ada dan cukup menyulitkan segalanya, tapi semua itu bukanlah halangan. Aktivitas harus terus berjalan, dengan menjaga diri sesuai aturan yang ada. Bersabar dan tetap menjalankan aturan adalah cara satu satunya yang bisa kita lakukan untuk segera mengakhiri pandemi ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐩𝐚𝐧𝐝𝐞𝐦𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang