A/N : Yo kembali lagi dengan saya, seorang author abal-abalan. Lagi-lagi Jerza hahaha, ok it's my favorite pairing, don't like, don't read! Comment please :)
Elektrokardiograf berbunyi stabil, menandakan bahwa jantung sang pasien masih berdetak secara normal tanpa adanya gangguan, selang infus menempel lekat di punggung tangan bagian kiri, wajahnya nampak pucat tanpa ada pengharapan untuk hidup. Ia menerawang jauh, nampak memikirkan sesuatu dengan menengadahkan kepalanya ke atas langit-langit kamar rumah sakit. Sudah sekitar setengah tahun tubuh tinggi nan kurus itu berbaring di atas ranjang, hidupnya selalu berada di ujung tanduk, obat-obatan adalah harapan terakhir yang dia miliki, meski suatu saat nanti campuran bahan dari zat-zat kimia itu pun akan berkhianat,
Pasien kamar nomor 500, seorang wanita berambut panjang scarlet dengan piama berwarna biru muda yang merupakan seragam dari rumah sakit, Erza Scarlet, berusia dua puluh lima tahun sedang berperang melawan penyakit pembunuh nomor satu di dunia ini, kanker. Ia pertama kali didiagnosis terkena kanker enam bulan lalu, empat puluh hari setelah merayakan ulang tahun ke-25. Saat hasil USG keluar, tau-tau sudah memasuki stadium tiga dan tergolong langka pula.
Kanker pankreas, menyerang secara senyap, menunjukkan gejala-gejala umum yang selalu diabaikan oleh pengidapnya, saat terdiaknosa pun sudah memasuki stadium lanjut dengan angka kesembuhan semakin kecil. Hanya sekitar 15 hingga 20% orang yang bertahan hidup dalam kurun waktu lima tahun, sebagian? Meninggal setahun kemudian tanpa kesembuhan berarti. Erza sudah siap dengan kemungkinan terburuknya, kalapun harus meninggalkan dunia ini dia tidak akan pergi sambil membawa penyesalan.
"Lagi-lagi ada yang kurang, tetapi apa itu...?"
Kamar tersebut sangatlah sepi, tanpa seorang pun di dalam sana. Dari awal hingga sekarang dirawat di rumah sakit, tidak pernah ada kunjungan dari orangtua maupun kerabat jauh, apa mereka semua acuh tak acuh terhadap Erza? Ayah dan ibunya meninggal ketika dia berusia dua puluh tahun dan semua itu disebabkan oleh kecelakaan mobil. Jarak yang jauh serta kesibukan memadai membuat saudara-sudaranya tidak pernah menjenguk, lagi pula hubungan Erza dengan mereka pun kurang baik.
BRUKKK..!!
Tanpa sengaja seorang lelaki menabrak pintu dengan keras, dia terlihat mengelus-elus kepalanya sendiri karena membentur lantai. Erza menatap kaget, tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengar olehnya.
"Maaf menganggumu, omong-omong kamar nomor lima ratus tujuh di mana ya?" ucapnya meminta maaf seraya bertanya
"Ka-kalau itu aku kurang tau, kenapa tidak bertaya saja pada suster?" balas Erza memberi usul
"Aku sudah bertanya, tetapi..."
"...?"
"Ini rahasia, sebenarnya aku buta arah"
"Jadi tidak bisa membedakan utara, selatan, barat, timur, kiri dan kanan?"
"Begitulah, ingat jangan beritau siapa-siapa soal ini. Wajahmu terlihat pucat, ada apa?"
"Ti...tidak, bukan apa-apa. Pergilah, pasti mereka menunggumu" ucap Erza seraya tersenyum, berusaha menutupi segala kesedihannya
"Oke, sampai jumpa"
Jujur, Erza sempat berharap, akan ada seseorang yang datang menjenguknya. Ternyata lelaki itu hanyalah orang kesasar. Lagi pula, saudaranya tidak mengetahui, perihal penyakit yang Erza derita. Bodoh memang....tetapi, sekali lagi perasaan itu muncul, sebenarnya apa?
"Yo, aku kembali" dia menyapa, masuk ke dalam kamar dan duduk di samping
"Ta-tapi, kenapa? Tidak menjenguk saudaramu lebih lama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
February
Short StoryKesepian selalu mencengkam kamar nomor 500, pasien kanker tanpa seorangpun yang datang menjenguk, baik itu anggota keluarga maupun kerabat jauh. Hingga seorang lelaki berambut biru, dengan tato di mata sebelah kiri salah memasuki kamar, dan dengan w...