Chapter DCCXXXIII

1.6K 379 16
                                    

Kami terus saja berjalan, sambil berbaris bersama penduduk Azayaka yang lain. Aku kembali menunduk, menatap kotak kecil berisi bros yang telah aku bungkus kembali menggunakan kain putih. “Ryu, Sarnai, selamat untuk pernikahan kalian,” ungkapku, ketika kami akhirnya berdiri di depan mereka.

Aku menoleh ke arah Sarnai sambil mengangkat tanganku yang memegang kotak ke arahnya, “hadiah dari kami,” ucapku kembali dengan tersenyum ke arahnya.

“Terima kasih,” sahut Sarnai sembari memberikan teko yang ia pegang ke Bibi Khunbish yang berdiri di belakangnya, sebelum tangannya itu meraih hadiah yang kami berikan.

Sarnai kembali meraih teko yang sebelumnya ia titipkan ke Bibi Khunbish, lalu menuangkan susu yang ada di dalam teko tersebut ke mangkuk kecil yang Ryuzaki pegang. “Semoga pernikahan kalian, selalu diselimuti kebahagiaan,” ucapku, Ryuzaki tersenyum sambil mengangguk pelan saat aku menerima mangkuk berisi susu pemberiannya.

Aku menyesap susu tersebut, lalu berbelok sambil berjinjit mendekati mangkuk yang aku pegang itu ke Zeki. Kudekatkan mangkuk susu tadi kepada Huri agar dia bisa meminumnya, setelah Zeki sendiri sudah meneguknya saat aku memberikannya. “Terima kasih, semoga tidak ada kabar jahat yang menyentuh keluarga kalian,” harapku seraya mengembalikan mangkuk yang sudah kosong itu kepada Ryuzaki.

Ryuzaki menerima mangkuk itu ke tangannya, “terima kasih, karena sudah membantu kami mempersiapkan pernikahan, Kakak,” ucapnya dengan melemparkan senyumannya padaku.

“Semoga kau bahagia, Ryu.”

“Terima kasih, semoga kalian juga selalu bahagia,” tutur Ryuzaki menjawab perkataan Zeki.

Kami lanjut berjalan meninggalkan kerumunan, hingga langkahku kembali berhenti disaat mataku itu terjatuh ke arah lambaian tangan yang dilakukan Eneas. Aku menoleh ke Zeki beberapa saat, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk mendatanginya bersama. “Nee-chan, Ayah memanggil kalian berdua,” ucap Eneas yang membuatku dan juga Zeki saling melemparkan pandangan.

Eneas kembali melambaikan tangannya, seakan-akan meminta kami untuk berjalan mengikutinya. Dia terus saja berjalan membawa kami semakin menjauhi keramaian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Para Kesatria Sora yang melihat kedatangan kami, segera membungkuk disaat kami berjalan mendekati Tenda yang ditempati oleh Ayah dan juga Ibu.

Kulepaskan sandal yang aku kenakan, sebelum akhirnya melangkah masuk mengikuti Eneas. “Ayah, memanggil kami?” tanyaku sambil melirik ke arah Haruki dan juga Izumi yang ternyata telah berada di Tenda yang sama.

“Duduklah!” perintah Ayah sambil mengangkat tangan kirinya.

Aku mengikuti perintahnya dengan duduk di dekat Eneas, lalu Zeki yang duduk di sebelahku. “Sachi, siapa anak yang kalian bawa?” pertanyaan Ibu, dengan seketika membuatku terhenyak.

Mataku menoleh ke arah Huri yang duduk di pangkuan Zeki, dia hanya diam tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Ardella, apa Sachi ada di dalam?” suara Bibi yang terdengar dari arah luar mengejutkanku.

“Dia ada di dalam, Kakak. Ada apa kau mencarinya?”

“Aku menitipkan seorang anak padanya. Dia anak temanku … Bisakah aku masuk?” tukas Bibi yang kembali terdengar.

Ibu menoleh sejenak kepada Ayah, “masuklah!” tukas Ibu yang akhirnya menjawab ucapan Bibi.

Tirai pada Tenda terbuka, diikuti sosok Bibi yang melangkah masuk lalu duduk di dekat tirai tadi. “Huri, mendekatlah! Kau bisa bermain bersama kedua Kakak itu lagi nanti,” ucap Bibi sambil melambaikan tangannya.

“Huri, tetaplah duduk!” perintah Zeki menimpali ucapan Bibi.

Huri tetap beranjak lalu berlari mendekati Bibi tanpa menghiraukan perintah yang Zeki berikan. Aku meraih dan menggenggam tangannya, hingga raut wajahnya yang sebelumnya terlihat marah, kian memudar di saat kedua mata kami saling bertemu. “Apa Ayah dan Ibu memanggil kami hanya untuk menanyai hal ini?” tukasku berusaha untuk meleburkan suasana.

“Ayah ingin kalian menaklukan sebuah Kerajaan,” ucap Ayah yang membuat alisku mengernyit saat mendengarnya.

“Juste. Taklukkan Kerajaan itu untuk Ayah!”

Kata-kata singkat dari Ayah, dengan cepat membuat bulu kudukku berdesir. “Baiklah, Ayah. Akan kami laksanakan,” jawaban dari Haruki, semakin membuat jantungku berdegup cepat.

“Juste? Haru-nii, kau pasti tahu bahwa Juste merupakan Kerajaan yang dipimpin oleh Alma, bukan?”

“Kenapa kau justru menyetujuinya?”

“Perintah tetaplah perintah, Sa-chan,” sahut Haruki yang membuat amarahku tiba-tiba meluap.

“Ayah tahu bahwasanya kalian berteman dengan salah seorang Pangeran Kerajaan Juste dari Makoto. Namun, Ayah tetap ingin kalian menaklukannya dan membuat Kerajaan itu tunduk kepada Sora. Hanya katakan, berapa prajurit yang kalian butuhkan untuk menyerang … Ayah akan mempersiapkannya.”

“Kenapa harus Juste dari semua Kerajaan? Ayah, aku memerlukan alasan kenapa harus menyerang mereka?” Aku balik bertanya hingga pandangan Ayah beralih padaku.

Ayah menghela napas setelah lama menatapku, “baiklah. Daisuke, masuklah!” tukas Ayah meninggikan suaranya.

Tirai terbuka, sosok Daisuke yang bertubuh besar itu terlihat hampir menutupi seluruh Tirai disaat dia melangkah masuk lalu duduk di belakang kami. “Jelaskan kepada mereka! Alasan, kenapa kita harus menyerang Juste,” ucap Ayah yang dibalas anggukan kepala dari Daisuke.

“Aku mendapatkan laporan, bahwasanya … Anak laki-laki yang tinggal di perbatasan Sora, tiba-tiba menghilang tanpa diketahui keberadaannya. Aku telah memerintahkan Osamu untuk menyelidikinya. Dari laporan yang Osamu berikan kepadaku, semua anak laki-laki yang diculik. Dibawa ke Kerajaan Juste untuk dijadikan Kesatria yang nantinya menjadi pengkhianat Sora.”

“Apa kau yakin?”

“Aku tidak akan berani mengeluarkan suaraku di hadapan Yang Mulia, jika aku sendiri tidak yakin … Putri,” ucapnya yang membuat mataku segera beralih menghindarinya.

“Juste termasuk Kerajaan yang sedikit besar. Dua puluh ribu pasukan … Aku pikir itu sudah lebih dari cukup untuk Sachi menaklukannya.”

“Apa dua puluh ribu pasukan masih tidak cukup untukmu, Sa-chan?" sambung Haruki ketika mataku itu melirik ke arahnya.

Aku menghela napas, setelah mataku dan mata Ayah, saling menatap satu sama lain. “Aku mengerti. Aku akan membawa kemenangan untuk Sora, dan membawa kembali harta Sora yang telah mereka ambil,” ucapku yang segera dibalas oleh senyuman darinya.

“Tapi Ayah, apa aku akan mendapatkan sesuatu jika berhasil melakukannya. Sesuatu yang membuatku bersemangat untuk melakukannya.”

Mataku dengan cepat melirik ke arah Izumi yang mendecakkan lidahnya. “Seberapa banyak perhiasan yang akan Ayah berikan kepadanya, jika dia berhasil melakukannya. Kurang lebih seperti itu yang dia maksudkan,” sahut Izumi menimpali ucapanku kepada Ayah.

“Mau bagaimana lagi, selain menjadi keluarga Takaoka … Aku sekarang merupakan salah satu keluarga Bechir. Membangun Yadgar menjadi Kerajaan yang besar, sudah menjadi tugasku sebagai Ratu. Kalau saja aku tidak mendapatkan sesuatu sebagai penyemangat … Kepalaku akan kesulitan untuk diajak berpikir.”

“Apa Suamimu, tidak memberikanmu perhiasan-perhiasan yang kau inginkan?”

“Dia memberikanku, Ayah. Tapi, sesuatu yang kita dapatkan dari kerja keras kita sendiri … Akan terasa lebih manis. Lagi pula, aku membutuhkan banyak modal untuk membuat Yadgar menjadi Kerajaan terbesar dan terkuat untuk nantinya kami wariskan kepada anak-anak kami.”

“Melampaui Sora, itu menjadi impianku. Jadi berhati-hatilah kalian, posisi Sora yang merupakan Kerajaan terkuat, bisa berubah kapan pun saat aku menginginkannya,” ucapku, yang dibalas senyum menyeringai dari Ayah, Haruki dan juga Izumi.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang