PART 9 : Tentang Luka Dan Obatnya

48 20 29
                                    

-

Rino menganggukkan kepalanya seraya tersenyum sopan pada pelanggan cafe yang sedari tadi melirik ke arahnya.

Dalam hatinya Rino hanya bisa menggeleng melihat tingkah centil tiga orang perempuan yang tanpa ragu mengedipkan mata kearahnya. Bukannya Rino kegeeran atau apa, tapi ini sudah di depan mata, gimana gak risih coba?

Cantikkan juga cewek gue kemana-mana.

Mika yang sedari tadi menjadi saksi bagaimana kecentilan bocah-bocah yang ia duga masih bersekolah itu hanya bisa terkekeh dari balik mesin kasir.

"Kalo si mak lampir tau, kayanya udah di lemparin sendal itu orang." Rino mendengus, namun dalam hati membenarkan.

"Takut banget diambil orang, padahal cowoknya aja udah bucin akut gak ada obat. Heran gue." Sambar Terra yang baru datang dari ruang kerja yang berada di sudut dekat dapur.

"Dih, sirik. Mending gue ada yang dibucinin, nah elo?"

"Yeu, gue mah ada! Banyak malah! Noh, si asu noh yang jomblo! Ngarep balikan ama mantan mulu, padahal mantannya udah punya yang laen, kasian banget idupnya."

Mika mendelik dan melemparkan gelas kertas kearah Terra. "Anjir! Dari tadi gue diem aja ya, sat! Gue mulu yang kena!"

Terra tertawa hingga membuat beberapa pelanggan perempuan ikut memperhatikan ketiga pemuda tampan itu.

"Oi, sini gantian. Shift gue udah abis." Kata Rino sambil mengayunkan tangannya kearah Terra.

"Yaelah, No. Tanggung tungguin si Cetta aja dulu. Biar serah terimanya sekalian ama si Mika." Rino menggeleng.

"Oh tidak bisa, gue mau nelpon cewek gue. Dari pagi tu anak ngilang gak tau kemana, chat gue juga gak di bales, terakhir bales tadi pagi abis dia ibadah."

Terra mendengus. "Ngebucin mulu lo! Sampis!"

"Sirik mulu lo! Buluk!" Setelah itu Rino pun memilih beranjak menuju ruang kerja mereka berempat dan merebahkan dirinya di sofa kecil yang berada di ruangan tersebut.

Tubuhnya terasa sedikit pegal karena sedari pagi tak duduk sangking ramainya pelanggan, maklum hari minggu apalagi hari ini dua karyawan mereka tak bisa hadir karena alasan pribadi yang cukup mendesak dan membuat ia dan yang lain harus turun tangan langsung.

"Oi! Kemana aja? Dari tadi di chat gak bales." Sapa Rino begitu panggilannya terangkat.

Lihat, Rino ketika di depan temannya mungkin terlihat begitu mencintai Egi. Tapi ketika berhadapan langsung dengan gadis itu, sosoknya akan bersikap seperti tak peduli dan jauh dari kata romantis.

"Abis makan tadi." Rino mengerutkan keningnya saat mendengar balasan Egi. Biasanya gadis itu akan mengomelinya terlebih dahulu karena sapaan yang kurang romantis yang ujung-ujungnya akan disuruh ulang dari awal.

"Lah? Baru makan? Udah jam dua ini, masa baru makan? Dari tadi kemana aja? Pagi lo ada sarapan kan? Lo ada maag, Gi. Mau kambuh? Lo kalo sakit nyebelin soalnya." Ucap Rino dengan nada sewot sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.

Namun, bukannya membalas omelan Rino seperti biasa. Egi malah diam seribu bahasa dan membuat Rino semakin heran.

"Gi? Lo disana gak sih? Diem bae dari tadi!"

"No- " Rino terdiam, tubuhnya membeku untuk beberapa saat ketika mendengar suara bergetar dan juga isakan tertahan dari gadisnya.

Sontak ia pun langsung mendudukkan dirinya. Kenapa lagi kali ini?

"Loh? Gi? Kenapa?" Nada menjengkelkan yang tadi sengaja ia buat untuk memancing omelan gadisnya itu mendadak berubah drastis. Kini yang ada di kepalanya hanya rasa khawatir. "Gi? Hey, kamu kenapa? Sakit? Tuh, kan makan yang bener makanya."

Garis KesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang