PART 11 : Konsekuensi Jatuh Cinta

48 22 16
                                    

-

"Gi!"

Egi mengerjapkan matanya dan hal pertama yang ia lihat begitu matanya terbuka adalah wajah menyebalkan milik Rino yang kini tengah menggeleng prihatin.

"Pelor sih pelor, tapi gak gini juga dong mbak pacar! Masa baru ditinggal bayar somay lo udah molor? Malah ada iler lagi."

Egi masih terdiam dan sibuk mengamati sekitar yang terlihat masih sama seperti sebelumnya.

Mereka masih ada di depan gerobak somai, yang membedakan hanya piring miliknya yang kini sudah menghilang entah kemana.

Egi bingung, ia tak tau mana yang nyata dan mana mimpi. Hingga Rino tiba-tiba menarik sejumput rambutnya dan itu sakit.

"Heh? Ngapa lo?" Egi beralih menatap Rino yang kini menatapnya dengan bingung.

"Gi? Heh, kenapa sih?" Rino memilih untuk kembali duduk di samping gadis itu dan menggoyang-goyangkan tangannya tepat di depan wajah Egi yang terlihat tak fokus dan juga linglung.

Gadis itu tiba-tiba terlihat aneh, apa Egi benar-benar kesambet kali ini?

"Gi? Kamu kenapa? Sakit? Capek? Jangan bengong terus. Kamu kenapa?" Rino menarik dagu Egi dengan lembut agar gadis itu menatap kearahnya.

Rino tertegun saat Egi menatapnya dengan wajah datar. Tidak, tak ada yang salah dengan wajah datar menyebalkan itu. Yang salah adalah mata gadis itu yang tengah menatapnya dengan lelehan air mata.

"Gi? Kamu kenapa?" Tentu saja Rino kaget. Dalam kurun beberapa waktu belakangan ini ia sering sekali melihat Egi menangis tanpa alasan. "Kok nangis? Kamu kenapa?"

Rino menarik Egi ke dalam pelukannya tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang melirik kearah mereka saat ini.

Dalam diamnya Rino dapat merasakan tubuh Egi yang bergetar. Sedangkan Rino hanya bisa diam sambil memikirkan apa yang sedang terjadi dan membuat Egi menangis tanpa alasan seperti sekarang? Apa ia salah berbicara tadi?

"Aku mau pulang." Kata Egi dengan wajah yang begitu kacau sambil mendorong pelan tubuh Rino untuk melepaskan pelukan mereka.

Rino menghela napas panjang dan memilih untuk mengalah malam ini. Walaupun sebenarnya pikirannya juga sedang penuh-penuhnya saat ini.

Belum hilang perkataan Papi Egi sore tadi, kini beban pikirannya harus kembali bertambah dengan tingkah aneh Egi.

***

Egi menatap langit-langit kamar kostannya dengan tatapan kosong. Sepanjang perjalanan pulang tadi tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara.

Egi tau, Rino pasti penasaran setengah mati melihatnya tiba-tiba menangis tanpa alasan padahal lima menit sebelumnya ia masih bisa tertawa riang, jika dipikir-pikir kelakuannya tadi persis seperti orang gila.

Setelah mereka sampai di depan kosan Egi pun Rino tak bertanya apa-apa. Lelaki itu hanya mengulas senyum kecil dan kembali menariknya ke dalam pelukan hangat sambil berbisik. "Sayang Egi banyak-banyak."

Persis seperti apa yang sering Egi katakan setiap hari untuk lelaki itu.

Egi berusaha sekuat tenaga untuk menepis segala pemikiran buruk atas hubungannya dengan Rino, tapi sialnya tak bisa sebab kata-kata itu terus berputar di kepalanya.

Kita udahan aja ya, Gi? Aku capek. Adalah kalimat paling sialan yang pernah muncul di otaknya. Mimpi itu adalah mimpi paling buruk diantara mimpi-mimpi buruk lainnya yang pernah ia rasakan.

Bahkan rasa takut yang ia rasakan saat ini melebihi ketika ia mimpi di kejar oleh Ted Bundy dengan dua buah kapak di lengan lelaki tersebut.

Kenapa rasanya sesakit ini? Padahal itu semua hanya mimpi.

Garis KesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang