Bagian 23 : Cemburu Tanda Cinta

3.7K 156 11
                                    


Menikah adalah ibadah yang paling lama. Itu yang pernah aku dengar dari ceramah para ustadzah di pesantren Al-Faaz. Kukira dalam pernikahan itu tidak penting di dasari saling percaya atau tidak.

Toh aku menikah dengan Reyhan hanya sebatas paksaan ayah saja. Apa pun yang dilakukan Reyhan awalnya aku sama sekali tidak peduli. Namun, sekarang semua berbeda.

Aku merasa ingin tahu segalanya yang berhubungan dengan suamiku. Mulai menaruh curiga dan takut, jika suatu saat suamiku ternyata meninggalkanku.

"Hem, kenapa Mas Rey belum juga kembali?"

Aku sudah lelah terus menunggu. Sambil memperhatikan detak jarum jam yang seolah tak bergerak. Dari menjelang sore, sampai aku selesai melaksanakan shalat isya, Reyhan masih belum pulang juga.

"Kalau gini gue jadi penasaran, kan. Gimana kalau ternyata Mas Rey dan umi Aira itu malah balikan?"

Bisa saja, kan. Apa pun tak ada yang tak mungkin. Apalagi Humayra ternyata sangat nekat. Apa pun dan bagaimanapun kondisinya. Sesulit apa pun itu dalam menjalani hidup. Sekali saja, aku tidak pernah berpikiran ingin mengakhiri hidup.

"Ish! Gue gak bisa gini! Gue bakalan samperin suami gue deh," kataku lalu mengambil kerudung, aku memutuskan tuk menyusul Reyhan.

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Mas Rey?"

Reyhan tersenyum kecil. Sementara wajahku langsung menekuk secara refleks.

"Kamu mau kemana, Sayang?"

Aku mendengkus. Tak jadi keluar karena yang ditunggu akhirnya datang juga. Bisa-bisanya dia bertanya, padahal jelas! Aku pergi keluar karena mencemaskannya. Lelah menunggu dan argh! Kesal begitu datang, dia malah biasa saja.

"Kamu sudah makan?" tanya Reyhan.

"Gak tau!" jawabku ketus. Akhirnya aku melangkah keluar, tapi Reyhan segera memegang tanganku.

"Masuk, yuk. Kita makan sama-sama. Aku lapar sekali, aku belum makan semenjak tadi pergi."

Mataku lantas melotot terkejut mendengar dia belum makan. Kok bisa?

"Kamu belum makan dari siang tadi?"

"Iya, Sayang. Aku hampir pingsan rasanya," jawab Reyhan lemah.

"Astaghfirullah! Kok bisa-bisanya sih!"

Segera aku pergi ke meja makan untuk menyiapkan makanan.

"Apa gak ada waktu buat makan sama sekali? Emangnya di sana kamu bahas apaan aja sih! Heran!"

Reyhan mengekeh pelan. Aku memutar bola mata menatap kesal ke arahnya.

"Kamu ketawa? Aku serius Mas! Kenapa kamu bisa belum makan!" tegasku melotot padanya.

Dia langsung diam, wajahnya yang tadi santai berubah agak tegang.

"Maaf Sayang, aku boleh makan dulu? Habis itu aku pasti cerita sama kamu," kata Reyhan.

Kalau tidak ada situasi kelaparan yang mendesak, aku ingin mencecarnya dengan seribu pertanyaan lagi.

"Ya udah buruan makan!" ucapku galak.

"Istriku kalau galak ternyata serem juga," ucap Reyhan seraya mengecup sebelah pipiku spontan.

Aku lantas memegang pipiku dengan ekspresi memerah.

"Cium segala ih."

"Masakan siapa Sayang?"

"Orang lain, kamu kan tahu aku gak bisa masak," jawabku.

Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang