1. (Nir)Mala

16 1 0
                                    

Suasana ramai dan tenang namun membawa atmosfer semangat tak lantas membuatku mampu membuka mataku yang kini terasa berat. Aku sudah menguap berkali-kali hingga Kirana menegurku. Bukan salahku jika mengantuk, bukan salah kakak alumni yang sedang melakukan sosialisasi kampus juga. Aku hanya merasa tidak antusias dengan acara campus fair ini, mungkin karena aku belum tau mau masuk apa, dan dimana. Jika melihat nilai-nilai ku maupun kemampuan ku sepertinya aku bisa masuk perguruan tinggi manapun dengan jurusan standar, tentu saja bukan jurusan yang sulit ditembus seperti kedokteran. Jadii... Aku belum menemukan jurusan maupun universitas yang benar-benar kuinginkan.

"Gue bingung deh mau masuk mana", ujar Kirana lirih. Aku memaksakan mataku agar tetap terbuka dan mengumpulkan seluruh atensiku padanya.

"Bukannya kamu mau mengambil jurusan Fisika murni?", Tanyaku sedikit heran.

"Iyaa... Tapi gue mau ambil di daerah Jawa, entah UGM, UB, Sebelas Maret, atau Negeri Malang, masalahnya ibu gue gak memberi izin. Ibu mau gue kuliah di daerah sini", ujarnya berdecak kesal.

Aku manggut-manggut mengerti. Ini memang masalah yang biasa terjadi pada anak kelas 12.

"Kenapa kamu mau kuliah di Jawa? Disini juga ada UI, UIN, UP, UNJ, yang swasta juga banyak", tanyaku ingin mengkonfirmasi alasannya. Bukan tanpa sebab, karena aku benar-benar ingin membantunya dan mendengarkan dengan tulus, aku tidak mau bersikap sok tahu, dan men-judge tanpa tahu alasan yang sebenarnya.

"Gue mau merantau Mel. Gue mau mencoba jauh dari keluarga dan mandiri, gue mau merasakan mengatur hidup gue sendiri, sekaligus belajar memanajemen waktu dan keuangan. Lo tahu sendiri gue kalau dirumah seperti apa... Mana pernah sih gue mikirin masak, cuci baju, beres-beres rumah, atau uang jajan. Kalau habis pun gue masih bisa makan", curhatnya dengan suara pelan. Khawatir siswa di sekitar kami mendengar dan terganggu.

Aku mendengarkan dengan serius namun santai dan menimbang-nimbang apa yang harus kubicarakan. "Kalau ibu kamu, kenapa beliau mau kamu kuliah disini?"

"Yaaah... Biasa Mel, khawatir. Makannya gue kesal sendiri soalnya gua paham sama maksud ibu, cumaa yaa... Gitu deh".

Aku manggut-manggut paham. Sebagai orang luar aku memang tidak bisa banyak membantu, namun sebagai seorang teman setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik kan?. " Coba aja ajak ibu kamu diskusi, sama ayah kamu sekalian biar gak perang dunia, siapa tahu orangtua kamu punya jalan tengahnya", ujarku disertai lelehan ketika menyebut perang dunia. Namanya anak dan orangtua, pasti ada ribut-ribut kecil.

"Iya deh... Nanti gue coba nanya lagi. Aah... Thanks Melodi... Lo itu emang sobat gue Ter the best deh", akunhanya terkekeh kecil melihat sobatku sedari awal masuk SMA yang seperti mendapat pencerahan .

"Kalau Lo mau masuk mana?", Tanyanya.

"Belum tahu, aku belum membahas soal ini sama orangtuaku", jawabku santai.

"Tapi kalau Lo sendiri maunya masuk mana?".

Aku berpikir sejenak mengingat-ingat apa pernah aku memikirkan kampus yang kuinginkan. Namun aku tak menemukan ingatan itu. Kalau hanya sekedar ingin, aku pernah ingin kuliah di UI, namun itu hanya perasaan lalu, tidak ada niat sungguh-sungguh ataupun berharap ingin masuk UI. Yang pasti aku ingin masuk kampus terbaik.

Akhirnya aku menggeleng kepala. "Kalau yang benar-benar aku mau sih enggak ada... Yang penting universitas terbaik aja, entah 10 besar, 15 besar, 50 besar", jawabku. Yaa meskipun tidak ada yang benar-benar kuinginkan tapi siapa sih gak mau kuliah di UI? Selain kualitas yang tidak perlu diragukan, ada nilai kebanggan juga.

"Sayang banget... Lo itu kan pintar, sayang kalau lo gak memanfaatkan kepintaran Lo untuk mendapatkan apa yang lo mau", cetusnya begitu saja tanpa memandang kearah ku.

Feeling Blue (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang