FASHION design dan pattern making. Itu izin yang kuminta saat minum kopi kemarin pagi? Bukan izin mau ke toilet. Kemudian, Ardo pulang malamnya, bla-bla-bla, hingga kembali ke meja makan pagi ini, dia nggak bertanya apa pun lagi perihal kursus. Bukan apa-apa, aku berharap dia menggali lebih dalam. Brainstorming.
"Bang ...."
Sarapan yang kusiapkan dalam rangka mendukung obrolan enak, malah menyita perhatiannya utuh-utuh.
"Bang ...."
Dem. Dia masih dalam mode lahap, otaknya pindah ke perut. Bagusnya kuganti empat lembar pancake bersalut lemon curd di piringnya dengan kepingan DVD.
"Bang!"
"Hah?"
Pfiuh. Agak malas jadinya. Tapi ... ngomong ajalah. Daripada diam, setelah itu jadi ganjalan di hati seharian. "Kenapa Abang nggak tanya alasan Adek ngambil kursus---"
"Hehem," dia menyela ucapanku sambil mengangguk-angguk kecil. "Oke, apa alasan Adek ngambil kursus itu?"
Seriously?
Aku memotong-motong pancake tanpa keinginan memakannya lagi. Tanggapan ala beo barusan sudah membuat perutku begah.
Sedari dulu, aku meyakini bahwa bentuk kepercayaan tertinggi yang bisa diberikan seseorang kepada yang lain adalah dukungan penuh tanpa bertanya mengapa. Begitulah yang diberikan Papa, Mama, dan Bang Mikha setelah aku dianggap dewasa karena sudah kuliah. Saat itu aku masih lajang. Apa pun yang kuinginkan, bebas kulakukan. Apa pun risikonya, aku nggak pernah mundur. Sekalinya menikahi Homo sapiens di depanku ini, aku menemukan diriku nggak nyaman lagi dengan kebebasan mutlak seperti itu. Pernikahan bicara tentang kesepakatan bersama dalam segala hal. Oke, nggak semua hal karena aku nggak perlu bertanya baju apa yang harus kupakai tiap hari. Segala yang penting ajalah, salah satunya jika berhubungan dengan uang.
"Apa hayooo," ulangnya.
Aku menggeleng lemah. "Stop being asshole."
"Loh?"
"Nggak usah cuma membeo kayak gitu. Kalau memang nggak merasa penting buat nanya, ya sudah, nggak usah."
"Loh," dia mengernyit, " Abang nggak ngerti, deh."
"Gimana mau ngerti kalau sudah langsung membeo pas aku bahkan belum selesai ngomong."
Dia menyeringai lebar. "Maaf, maaf. Adek lanjut omongannya, deh."
"Malas. Jawab ajalah kenapa Abang nggak nanyain alasannya."
"Kenapa harus?"
Kampret.
"Nggak harus. Kecuali kalau Abang merasa keputusanku, keputusan bersama. Untung ruginya risiko bersama."
Dia menegakkan punggung, seperti ingin bicara.
Aku lebih dulu mengambil kesempatan. "Tolong jangan bilang karena Abang terlalu percaya sama Adek. Lebih baik jujur aja Abang sebenarnya nggak peduli Adek mau ngapain."
"Dek ... malah kalau Abang bilang nggak peduli, itu bohong. Kalau Abang bilang percaya penuh sama Adek, itu jujur. Sekarang ini kita sama-sama nggak tahu kursusnya akan seperti apa, makanya Abang biarkan Adek coba."
"Kalau nggak menghasilkan apa-apa?"
"Nggak mungkin, pasti ada. Seenggaknya dapet ... uhm, new experience."
"Money, My Man, money."
"Urusan nantilah. Adek have fun dulu aja, udah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Medium Rare Mom [Elex Media]
General FictionBehind the story of A Man Who Loves You