Kengerian itu akhirnya selesai juga. Fiuhhh....
Demam panggungku ternyata tidak separah saat SMA dulu. Wajah Bu Camat dan Pak Camat, serta para lurah dan udangan lainnya tadi tak ada yang menunjukkan gejala aneh. Itu artinya kata sambutanku tadi tidak ada yang salah kan?
Hasil didikan semi militer Mas Fathan kemarin ternyata benar-benar membuahkan hasil. Aku benar-benar seperti anak kecil yang sedang dikawal belajar oleh orangtuanya. Pagi, siang, malam di setiap kesempatan, Mas Fathan akan terus memintaku mengulang kata sambutan itu. Gini amat sih nasib punya suami perfeksionis. Semua harus bisa. Semua harus sempurna.
Untungnya semua berjalan lancar. Coba kalau sempat terjadi kekacauan, mungkin aku akan dibuang ke kolam buaya.
"Bu lurah, sudah saya invite ke grup kecamatan," ujar Bu Dilla, salah satu istri lurah di kecamatan yang sama dengan tempat Mas Fathan bertugas, seraya duduk di sebelahku. "Saya adminnya. Hehehe..."
"Terima kasih, Bu," ujarku sopan.
Sesi ramah tamah dan foto-foto telah berakhir. Secara resmi acara telah selesai sejak beberapa saat lalu. Para undangan juga sudah banyak yang bubar, hanya menyisakan beberapa orang saja. Kini aku sedang duduk di sisi kanan aula kecamatan menunggu Mas Fathan yang tampaknya masih asik mengobrol dengan salah seorang lurah. Oh ya, lurah itu suaminya Bu Dilla.
"Semoga betah ya di Jambi. Bu Silvi masih muda banget. Saya dulu dampingin Bapak jadi lurah pas umur 27 lho. Ibu masih 23 tahun ya?"
Aku mengangguk. "Iya, Bu. Nanti mohon bimbingannya ya."
"Tenang aja, Bu. Bu Camat orangnya asik kok. Nanti pasti betah deh ikut kegiatannya," ujar Bu Dilla penuh semangat.
Aku tersenyum, meski di dalam hati mulai sedikit khawatir. Mengingat Mas Fathan adalah orang yang perfeksionis, sepertinya untuk kedepannya aku tidak boleh sampai melakukan kesalahan.
***
"Cieee... yang sekarang sah jadi Bu Lurah," goda Liona di telepon.
"Mati gue, Na," keluhku.
"Lho, kok gitu ngomongnya?" tanya Liona heran.
"Mas Fathan itu orangnya perfeksionis, gue takut bikin salah dan membuat dia malu."
"Yee... Tapi kan tadi acaranya lancar," kata Liona menenangkanku.
"Ya, itu acara pertama, Na. Berikutnya kan bakal banyak banget kegiatannya gue. Buat yang ini aja gue mesti latihan ngasih kata sambutan yang dibumbui sensasi diospek senior galak. Kalau setiap ada kegiatan harus gitu mulu, bisa mati berdiri gue."
Liona terkekeh di seberang sana. "Entar lama-lama lo juga terbiasa kok, Sil. Cuma butuh membiasakan diri aja kok."
Aku menghela napas. Mudah bagi Liona mengatakan itu karena dia tidak tahu sekaku dan seaneh apa suamiku itu. Mas Fathan memang kelihatannya kalem. Tapi kalau sudah mengenai urusan disiplin dan harga diri, dia bisa jadi orang lain.
Aku dan Liona akhirnya beralih mengobrolkan hal lain, seputar kehamilannya, dan juga suaminya, Rey, yang jauh berubah sejak kehamilan Liona saat ini. Dulu Rey adalah cowok egois dan tidak punya rasa kasihan pada Liona. Tapi kini, dia sudah jadi bucin akutnya Liona. Aku benar-benar terbahak saat mendengar banyak hal konyol yang dilakukan Rey sebagai bukti kebucinannya itu.
"Sil, kamu masak apa malam ini?" Mas Fathan yang baru saja selesai mandi muncul di teras samping.
Aku yang masih asik cekikikan di telepon bersama Liona, seketika terpaku. Pernahkah aku bilang kalau Mas Fathan itu sangat tampan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pass Me By
RomanceApa sebutan yang tepat untuk suami yang sama sekali tidak menyentuhmu di awal pernikahan kalian? Meski sedang hangat-hangatnya, dia malah sama sekali tidak tertarik padamu. Masih malu-malu? Bullshit. Jika bukan impoten, dia pasti gay! Sekarang masa...