Penulis: Queen Nakey
Warning
Untuk yang gak suka gore, darah-darahan, sadis-sadisan, penganiayaan yang benar-benar 'agak' kejam. Diharap tidak membaca.
Penulis tidak bertanggung jawab untuk efek yang ditanggung pembaca yang nekad nabrak warning
Cerita ini hanyalah bentuk rasa kesyeeeel penulis terhadap seseorang. Gak usah diambil hati apalagi dianggap nyata.
***
"Udah selesai diperiksanya?"
"Udah."
"Dokter bilang apa?"
"Dokter gak bilang sama aku, dia ngomong ke Mama." Aku menjawab datar. Mataku menatap lurus ke depan. tangan kiriku masih menempelkan ponsel ke telinga kiri, sementara tangan kanan memeluk tas biru muda yang satu warna dengan gaun yang kupakai hari ini.
Cowok yang menjadi lawan bicaraku ditelepon diam beberapa saat. Entah kenapa saat ini aku merasa dia pasti sedang tersenyum?
"Pagi ini kamu gak marah-marah, kan?" pertanyaan itu adalah pertanyaan yang selalu dia ucapkan setiap harinya. "kamu minum obat kamu?"
"Aku minum, kamu yang nyuruh." Aku mencicit. "Mau ke kantor kamu boleh?"
"Sama Mama?"
"Sendiri. Mama aku suruh pulang," jawabku cepat. Dia tidak menjawab. Aku bergerak gelisah, mungkin dia tidak senang aku datang ke kantornya. "kalo gak boleh gak pa-pa. Aku pulang lagi aja."
"Kamu udah di jalan?" dipertanyaan itu, terselip nada kaget. "sejak kapan aku ngelarang kamu ketemu aku? Dateng ya dateng aja. Kamu hapal jalan, kan?"
"Hapal kok."
"Jangan sampe nyasar, ya? Atau mau aku jemput aja?"
"Aku udah di depan kantor kamu."
Dia tertawa. Tawa yang begitu merdu membuat kedua pipiku terasa memanas. Seorang satpam menghampiriku dan memberi sapaan hangat. Aku mengatakan dengan jelas sedang ingin bertemu dengan Revaldo Giofardo. Plan manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi foil.
Mereka sudah mengenaliku. Aku memang sering berkunjung ke tempat pacarku bekerja. Walau hanya duduk diam di ruangannya, menatap dia yang sibuk bekerja dan sesekali memberiku senyuman hangat.
"Kalo udah nyampe kenapa gak langsung masuk? Kamu barusan mau pulang lagi malahan."
"Aku takut kamu bosen ketemu aku." Aku mengulum bibir. Mengisi formulir tamu, aku langsung diberikan card bernomor. Menolak beberapa tawaran diantar masuk, aku melambaikan tangan pada beberapa orang yang menyapa hangat.
Walau jabatannya di kantor baru sebatas plan manager, tetapi Aldo merupakan putra dari pemilik perusahaan ini. Wajar ketika semua orang begitu menghormatinya walau seringkali dia bersikap dingin. Tidak aneh juga saat semua orang di tempat ini memperlakukanku dengan hangat, apalagi saat dia sama sekali tidak menyembunyikan hubungan kami yang sudah berjalan selama beberapa tahun di depan publik.
Dia adalah yang paling berharga...
Kekasihku yang sangat sempurna.
"Aku ada tamu, aku tunggu di ruangan aku, ya?"
"Hu'umph." Aku mengangguk cepat, padahal dia tidak melihat. "See you."
Dan telepon pun ditutup. Kedua kaki yang ditopang heels sembilan senti kini kuarahkan menuju gedung. Senyuman ramah kuberikan pada resepsionis yang menanyakan apa keperluanku sebatas formalitas saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu... Dua...
HorrorSatu... satu dia punya aku, dua-dua dia cinta aku... tiga-tiga... ugh, semua orang ketiga harus mati!