Chapter DCCXXXVI

1.7K 370 8
                                    

“Paman Tsubaru yang telah merawat Ibu sejak Ibu masih sangatlah kecil. Ibu belajar memanah, Ibu belajar menggunakan pedang … Semuanya darinya,” sahutku disaat mereka berdua mendongak ke arahku.

“Perkenalkan diri kalian kepadanya!” perintahku sambil menggerakkan sedikit kepalaku.

“Ihsan Bechir, Pangeran Pertama Kerajaan Yadgar, senang bertemu dengan Paman-”

“Huri,” ucapannya yang singkat, menimpali perkenalan diri Ihsan.

Aku melirik Huri yang menyembunyikan wajahnya di balik pahaku, “ada apa, Huri? Paman Tsubaru sangatlah tampan, kan?” bisikku sambil tersenyum dengan mengusap kepalanya.

“Bibi, apa maksudnya Pelayan?”

Mataku dengan cepat beralih pada Takumi yang tiba-tiba bersuara. “Paman ini berkata, kalau dia Pelayan Ayah,” sambung Takumi, pandangannya yang menatap Tsutomu itu terlihat hampir tak berkedip.

“Baik Bibi, Ayahmu dan Paman-pamanmu yang lain. Kami memiliki seorang Kesatria yang ditugaskan untuk menjaga dan mengurus semua keperluan kami. Seperti yang kau lihat, Paman yang ada di depan Bibi,” ungkapku sambil menjatuhkan jari kepada Tsubaru, “dia yang telah menjaga dan merawat Bibi sejak Bibi belum bisa melakukan apa pun, sedang Paman yang berdiri di depanmu … Dia yang telah melayani Ayahmu hingga Ayahmu menjadi laki-laki hebat seperti sekarang,” lanjutku yang kali ini menunjuk ke arah Tsutomu.

“Jangan pernah meremehkan mereka, Takumi! Paman yang ada di depanmu itu, dapat memanah apa pun yang ia inginkan, walau kau membuat matanya tidak bisa melihat. Jika kau ingin kuat seperti Ayahmu, belajarlah darinya!” Bibirku tersenyum saat sambungan ucapanku itu dibalas oleh mata Takumi yang berkaca-kaca kepada Tsutomu.

“Menggemaskan sekali,” tutur Tsutomu yang tertunduk setelah menatap lama Takumi, “melihatnya, membuatku mengingat Pangeran Kecilku yang sekarang telah tumbuh dewasa. Kita benar-benar sudah tua, Tatsuya, Tsubaru,” sambung Tsutomu sambil mengusap ujung matanya menggunakan jari.

“Putri Huri!” Tsubaru menatap Huri yang masih terdiam di sampingku.

“Huri, Tsubaru memanggilmu. Mendekatlah kepadanya!” sahutku menimpali panggilan Tsubaru.

Huri mengikuti apa yang aku katakan dengan berjalan mendekati Tsubaru. “Saat pulang ke Sora. Aku sempat membawa beberapa hiasan kepala yang digunakan oleh Ratu Sachi ketika dia masih seusiamu. Apa Putri, berkenan untuk coba mengenakannya?”

“Hiasan kepala milik Ibu?” Kepala Tsubaru mengangguk, menjawab pertanyaannya.

Tsubaru menunduk sambil merogoh ke dalam tas yang ia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil lalu membuka kotak tersebut di hadapan Huri, “apa ada yang Putri sukai?” tanya Tsubaru kepada Huri yang masih tak bersuara.

“Aku ingin yang ini.”

Tsubaru tersenyum sambil menarik sebuah kain pita berwarna merah muda yang dulu sering aku pakai, “Putri, berikan Pelayanmu ini izin untuk membuat rambutmu terlihat cantik menggunakan pita ini,” ungkap Tsubaru, hingga membuat Huri kembali menoleh ke arahku.

Huri baru berbalik, berdiri membelakanginya setelah anggukan kepalaku menjawab keraguannya. Wajahnya menunduk, disaat jari-jemari Tsubaru merapikan helai demi helai rambutnya. “Kau cantik sekali, Huri. Benar, kan, Kakak?” tuturku, kepada Ihsan setelah Tsubaru menyelesaikan pekerjaannya.

Ihsan mengangguk, “Adikku memang cantik, Ibu,” jawab Ihsan yang membuat Huri tersipu malu.

Dia mengangkat tangannya, menyentuh rambutnya sendiri yang telah disanggul rapi oleh Tsubaru. “Paman, terima kasih,” ucap Huri yang membuat Tsubaru kembali tersenyum, sebelum akhirnya dia kembali berlari mendekati kami berdua.

“Pangeran Ihsan, aku juga membawakanmu sebuah hadiah,” ungkap Tsubaru dengan merogoh ke dalam tas miliknya itu kembali.

Ihsan baru berjalan mendekatinya, disaat Tsubaru sudah mengangkat sebuah bungkusan kain ke hadapannya. Dibukanya bungkusan kain itu oleh Tsubaru, hingga terlihat sebuah pisau dengan sarung yang berlapis emas. “Ini sebuah pisau yang aku dapatkan dari perjalanan pertamaku sebagai Wakil Kapten Kerajaan Sora. Pisau ini memiliki dua mata pisau yang sangat tajam di setiap sisinya …  Gunakan ini untuk melindungi mereka yang kau sayangi, Pangeran. Dan jika kau berkenan, aku akan sangat bahagia kalau diberikan izin untuk mengajarimu cara bertarung menggunakan semua jenis senjata,” sambung Tsubaru sambil mengangkat pisau tadi ke hadapan Ihsan.

“Apa Paman lebih hebat dibanding Ayah?”

Tsubaru terdiam beberapa saat mendengarkan ucapan Ihsan, “aku tidak bisa menilainya, karena aku sendiri tidak pernah bertarung satu lawan satu dengannya. Namun, dibanding mereka berdua … Aku yang lebih kuat.”

“Apa katamu, Tsubaru?!” sergah Tsutomu dengan suaranya yang sedikit meninggi.

“Aku bisa bertarung menggunakan kedua tanganku secara bersamaan. Pangeran bisa tumbuh kuat … Sama kuatnya seperti aku,” sahut Tsubaru tanpa menanggapi apa yang Tsutomu katakan.

Ihsan meraih dan memeluk pisau yang Tsubaru berikan kepadanya, “aku ingin tumbuh kuat, untuk melindungi keluargaku,” ucap Ihsan, dengan kepalanya yang tertunduk disaat Tsubaru lagi-lagi tersenyum membalas ucapannya.

Seperti yang diharapkan dari Tsu nii-chan. Dia benar-benar membuat semua yang aku khawatirkan berjalan mulus tanpa masalah.

Tsubaru kembali melemparkan senyumannya, ketika mata kami berdua saling bertemu. “Simpan baik-baik hadiahku, Pangeran. Pisau dengan bentuk yang sama, sudah sulit sekali untuk ditemukan,” ungkap Tsubaru yang menatap lagi Ihsan.

“Apa kau telah mengetahui hal ini sebelumnya, Tsubaru?” tanya Tsutomu ketika Tsubaru telah beranjak, sesaat Ihsan berjalan meninggalkannya.

“Aku mengetahuinya, sebelum kami pulang ke Sora-”

“Jadi karena itu kau telah mempersiapkan semuanya? Andai aku tahu, aku pasti sudah membawa banyak hadiah untuk Pangeran Kecilku,” ungkap Tsutomu memotong ucapan Tsubaru, dengan kedua matanya yang ia jatuhkan kepada Takumi.

“Kau tidak harus melakukannya, Tsutomu. Lebih baik, bawa beberapa Kesatria untuk mendirikan beberapa Tenda. Aku ingin beristirahat, jadi lakukan secepat mungkin!”

Aku berbalik, menatap mereka semua yang telah keluar dari dalam Tenda. “Yang Mulia, selamat dan terima kasih telah memenuhi impianku … Aku merasa, penyesalan di dalam kehidupanku menghilang berkat adanya kabar baik ini,” jawab Tsutomu, ketika Kakakku, Izumi telah berdiri di belakang Takumi.

“Apa kau tidak mendengar apa yang aku perintahkan? Lagi pun, impian siapa yang kau maksudkan?!” tukas Izumi yang mengatakannya dengan nada suara sedikit meninggi.

“Impianku. Aku selalu bermimpi, Pangeran yang aku layani memiliki keluarga yang bahagia,”sahutnya menjawab ucapan Izumi, “apa ada lagi yang harus aku lakukan, Yang Mulia? Bagaimana dengan makanan? Aku pun dengan senang hati akan menyiapkannya.”

“Lakukan apa yang ingin kau lakukan! Segera persiapkan semuanya, aku benar-benar lelah untuk saat ini!” perintah Izumi kembali padanya.

“Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Ebe yang membuat Kakakku menoleh kepadanya, “apa Ayah dan Ibumu mengatakan sesuatu?” sambungnya kembali bertanya.

“Semuanya baik-baik saja. Aku akan pergi bersama Haruki untuk menyelesaikan semuanya, setelah itu aku baru bisa menjawab semua hal yang ingin kau tanyakan.”

“Tunggulah di sini bersama Sachi dan yang lainnya. Saat Tenda yang dibuat oleh mereka telah selesai dibangun, ajak Takumi untuk beristirahat di sana. Aku akan segera kembali,” ucap Izumi lagi, tapi kali ini dengan kecupan yang ia berikan di kepala Istrinya.

“Sachi, titip mereka!” sambung Kakakku, sambil berjalan menyusul Haruki, Zeki, Eneas dan juga Bibi, yang berdiri menunggunya dari kejauhan.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang