. ࣪✯ཻ𖦆🎸᭝9

13 6 0
                                    

"Hanya ada luka ringan, tapi untuk sementara akan saya monitoring terlebih dahulu."

Hima mengangguk pelan, mengerti maksud dari sang dokter. Kira juga begitu, ia menghela napas lega kemudian memeluk sahabatnya. Setidaknya tidak ada pendarahan dalam seperti yang ditakutkan Arga.

"Bagaimana keadaan kakak kamu? Apakah masih belum sadar?"

Hima kembali menatap dokter itu, ia yakin seharusnya dokter yang menanganinya dan kakaknya itu berbeda.

"Ah, para perawat sering membicarakan kamu, saya jadi penasaran, dan saat itu kebetulan saya melihatmu di sana. Neron ya, sepertinya syaraf di otaknya meminta tubuhnya untuk beristirahat panjang. Lima bulan itu bukan waktu yang sebentar. Setidaknya teruslah berdoa, Himalaya."

Kira kembali ke rumahnya setelah memastikan sahabatnya itu kembali ke ruangan Neron, ia kembali ke rumah dengan selamat menggunakan ojek online.

Hima meregangkan tubuhnya, memberikan sensasi menyenangkan saat ia bisa duduk di atas kursi yang tak terlalu empuk. Pikirannya masih fokus dengan apa yang dikatakan oleh dokter tadi. Ia bukannya memikirkan kesehatannya sendiri, ia lebih memikirkan apa yang terjadi pada kakaknya.

"Benar, lima bulan bukan waktu yang sebentar," gumamnya.

Tubuh Hima bergerak, menuju jendela yang selalu tertutup. Di luar sana matahari sudah tenggelam, digantikan oleh bulan. Saling berganti jika jadwalnya sudah habis.

"Tapi, kapan jadwal saya habis?" Hima tersungkur, duduk di atas lantai, tepat menutupi dirinya di sisi kasur tempat Neron berbaring.

Hima tak ingat kapan terakhir kali ia bertemu dengan ibu kandung, yang pasti itu sudah sangat lama. Kematian sang ibu sungguh memikul kebahagiaan ayahnya. Saat itu umur Hima masihlah lima tahun, ia tidak tahu apa-apa di masa itu. Di saat umurnya menginjak lima belas tahun, ingatan tentang wajah ibunya menghilang. Bahkan foto yang selalu dipajang itu tidak membuatnya mengingat apa-apa atas kenangannya dengan ibunya.

Kecelakaan itu adalah kutukan. Baginya hal itu nyata. Sudah cukup kebahagiaan direnggut darinya saat kecil, ia turut merasakan kebahagiaannya direnggut saat remaja. Hima sendiri tidak habis pikir jika nasibnya akan begitu.

Hima menolehkan kepalanya saat mendengar suara pintu diketuk. Sosok laki-laki muda dengan wajah yang babak belur muncul dari sana. Ia berjalan pelan, mendekati sisi kasur dan menangis. Laki-laki itu adalah Arga.

Hima tak paham, sejak kapan ruangan kakaknya menjadi bebas dimasuki oleh siapa pun. Sejujurnya ia ingin berbicara, tapi hati kecilnya berkata, biarkan saja Arga menangis.

"Ner, kapan lu akan bangun? Semua nungguin lu. Apa karena semuanya menunggu, jadinya lu kagak mau bangun? Apa lu udah capek? Apa waktu lu bekerja udah selesai, Ner?"

Hima tidak pernah melihat laki-laki lain menangis selain ayah dan kakak tirinya. Ayahnya hanya pernah menangis saat ibu kandungnya meninggal, dan itu adalah ingatan yang samar. Sedangkan Neron, ia ingat dengan jelas, saat ibu tirinya menyeret Neron kembali ke rumah. Di saat itu juga, Neron menangis setelah ibunya pergi.

"Jika saja musik satu-satunya yang membuat saya seperti penantian di jalan untuk pulang ke rumah, maka akan saya lakukan selamanya, Ibu."

Kalimat itu menyadarkan Hima. Benar, dia dan kakaknya itu sama. Mereka berdua sama-sama mencari sesuatu sebagai rumahnya. Rumah bukanlah sekedar bangunan yang bisa ditinggali. Tapi, rumah juga tempat untuk berkeluh kesah, mengadu nasib, memberikan semangat, serta rasa hangat yang memberikan kebahagiaan.

"Ah, Hima! Maaf, saya tidak tahu jika kamu di sana." Arga berseru kencang, kakinya mundur beberapa langkah.

Hima berdiri dari tempatnya, kepalanya berusaha membenahi isinya. Ia terlalu larut dalam ingatannya sendiri. Satu-satunya orang lain yang tahu apa yang terjadi saat itu hanyalah Arga. Entah dia ingat atau tidak akan percakapan hari itu.

"Kenapa dengan wajah kakak?"

Arga memegang pipinya yang lebam, ia tidak ingin mengatakan kenapa, ia takut jika Hima akan menyalahkan dirinya. Tapi ia jauh lebih tidak ingin terus ditanya. "Pacar dari anak yang melukai kamu tadi, dia memanggil banyak orang untuk memukul saya. Tapi tenang, saya tidak apa-apa!"

Hima terdiam. Mau dipikir bagaimanapun rasanya sangat tidak logis. Siapa yang salah, dan siapa pula yang disalahkan. Orang-orang menjadi bodoh ketika mereka sedang jatuh cinta.

"Maaf."

"Sudah dibilang saya tidak apa-apa!"

Arga mengakhiri kalimat maaf dari Hima. Itu tidak seperti yang dipikirkannya. "Jika Neron, dia pasti bisa melakukannya jauh lebih baik dari saya."

***

Hima berdiri di sisi lorong, kakinya masih takut melangkah masuk ke dalam kelas. Dia tidak bisa melawan, dan hal itu membuatnya semakin takut. Lebih tepatnya trauma. Dirundungi, orang-orang yang seenak jidat itu, membuatnya sangat takut.

"Hima! Lu ga apa-apa kan? Apa ada yang parah?" Murid perempuan yang ada di depan kelas, menariknya masuk. Perempuan itu memeluknya, ada perasaan lega saat ia melakukannya.

Hima membalas pelukan itu, rasanya hangat baginya. Beberapa murid perempuan lain turut melakukannya. "Napas saya sesak!"

Mereka tertawa, dan melepaskan pelukan demi pelukan itu. Hanya sebuah pelukan, tapi bagi Hima rasanya sungguh menyenangkan. Benar, hanya pelukan.

Di sudut kelas, gadis yang melukai kepalanya, ada di sana, menatapnya dengan kesal.

"Gua denger dari murid sekolah lama lu, katanya lu kagak pernah ngumpul ye sama mereka? Sampai-sampai kakak kelas yang akhirnya main dengan lu."

Hima membatu. Pikirannya menjelejah, mencari tahu siapa yang bisa saja menyebarkan cerita itu. Tapi, jawabannya nol. Dia tidak punya teman di sekolah itu, dan bisa saja semuanya yang menyebarkan cerita itu.

"Haah, pantas aje. Harusnya lu kagak nyalahin orang dong. Salah sendiri kagak interaksi ama orang."

"Lu gila, ya, Win?" Kira bersuara.

"Apa sih lu, ikut campur aje."

"Bacot, cabe."

Satu kata yang sama seperti kemarin, dan kata itu berhasil membuat pitam Wina naik. Gadis berambut panjang dengan baju ketat itu maju menajambak rambut Kira. Tangan Kira tidak mau kalah, ia menarik rambut Wina, menyisakan erangan kasar satu sama lain.

"Lihat, berulah lagi, Van. Bukannya ini masuk urusan OSIS ye. Kalau kasusnya begini bukannya udah dikeluarin? Mengganggu ketenangan murid-murid di sekolah."

Arga kembali muncul entah dari mana asalnya. Di sampingnya sudah ada laki-laki yang mengalahkan tinggi Arga. Ia menggunakan baju ekskul voli, rambutnya sudah dijepit ke atas. Sang ketua OSIS, Gevano Deru.

"Demi, dah, kalian ngeganggu latihan pagi gua. Kasus kayak gini harusnya udah diselesain ama guru BK. Tapi masalahnya, orangnya itu lagi itu lagi. Kagak ada kapoknya. Emang kenape kalau bokap lu berdompet? Kalau ini ama ini lu kagak ada, lu sama aje kayak sampah!" Gevano menunjuk kepala dan dadanya, bermaksudkan pikiran dan perasaan.

"Wina, ke ruang BK, sekarang! Dan buat yang lain, jika masih ada gua dengar kekerasan lagi, gua kagak segan-segan lapor lu pada ke wakil kesiswaan buar ngeluarin kalian. Lu yang menuai, lu juga yang harus terima akibatnya. Paham?"

Hima sungguh tidak menyangka jika nasibnya akan seperti itu.

Hima sungguh tidak menyangka jika nasibnya akan seperti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Himalaya And The Broken Band [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang