14| Nicolaus Copernicus

45 8 6
                                    

Suara berisik orang-orang di dapur sudah kuanggap seperti rintikan hujan yang menenangkan. Ditambah, aku begitu menikmati kumpulan soal ini. Tersenyum puas karena berhasil mengerjakan banyak. Agaknya Kak Lina mengerti cara terbaik. Dia menyeimbangkan soal sulit dan soal mudah.

Setelah 20 soal kukerjakan kurang lebih satu jam. Di waktu yang tepat  Luna dan Aldebaran mengetuk pintu. "Apa kami boleh masuk?" tanya Luna terdengar sangat hati-hati.

"Hem."

Pintu terbuka. Aldebaran masuk Lebih dulu. Sementara Luna berada di belakang sembari mengunci pintu.
Aldebaran lantas berbaring di atas dipan dengan tangan dan kaki direntangkan lebar. Lain dengan Luna yang berjalan pelan, sedangkan matanya sibuk menelisik.

"Kenapa datangnya bisa pagi?"

"Diantar Kak Lina. Dia ada jadwal les di tempat lain. Terus sekalian antar aku ke sini," balasnya tanpa menoleh. Masih sibuk menjelajah sekitar menggunakan bola matanya.

Aku mengangguk pelan. Lalu kembali memutar pandang ke arah soal. Sibuk memeriksa jawaban. Habis, salah satu kelemahanku dalam belajar yaitu kurang teliti. Bukan itu saja aku orangnya gampang paham, tapi gampang lupa juga.

"Koleksi bukumu banyak juga," Luna berujar antusias. Dengan dirinya yang sudah berdiri di depan rak. Salah satu tangannya mengambil gulungan yang terselip di antara koleksi novelku. "Apa ini?" tanyanya sembari membentang gulungan ke lantai.

"Peta bintang," jawabku yang hanya menoleh sejenak. Lebih memilih untuk tetap bergelut dengan angka.

"Keren banget. Baru kali ini aku ketemu orang yang suka astronomi."

"Sebenarnya astronomi itu apa, sih?" timpal Aldebaran. Kini dia sudah mengangkat badan kemudian duduk di samping Luna.

"Aldebaran. Namamu itu ada hubungan sama astronomi tahu. Apa kamu enggak nanya ke orang tuamu?" Luna berujar gemas.

Menarik. Sekarang aku merasa bersemangat untuk mendengar jawaban dari pertanyaan Luna. Namun, tampak Aldebaran hanya bisa bergeming. Sampai akhirnya ragu-ragu dia bersuara, "Kalau enggak salah Ibu pernah bilang. Namaku itu dia comot dari Google. Enggak peduli artinya, yang penting kedengaran keren kalau disebut."

Aku menggigit bibir bawah menahan senyum. Bisa-bisanya ada orang tua yang berprinsip sesimpel itu dalam pemberian nama anak.

Luna kembali mengulung kertas di tangannya dan mengembalikan ke tempat semula. "Eggy, tokoh astronomi favoritmu siapa?"

Aku berpikir sejenak. Setelahnya tak kunjung menemukan jawaban. "Tidak ada. Menurutku mereka semua keren."

"Kalau Nicolaus Copernicus?" tanya Luna. Anehnya dia menoleh ke arah Aldebaran. Sedangkan anak kecil itu hanya membisu tak mengerti.

"Tragis," jawabku.

"Biasa aja kali. Dia enggak mati dibunuh. Tapi ya itu, teori heliosentrisme yang digagas olehnya ditentang banyak orang."

"Karena pada masa itu kalau bumilah yang sebenarnya mengelilingi matahari terdengar sangat konyol. Mereka terlalu sombong dengan beranggapan bumi sebagai pusat alam semesta. Lagi, karena teori heliosentrisme tidak sesuai dengan yang tertulis di kitab. Meraka enteng banget bilang kalau Copernicus hanya pembual. Padahal mereka bukan matematikawan."

"Dengarin aku ya, Eggy. Mohon dikoreksi. Kalau enggak salah aku pernah baca. Menjelang kematiannya, Copernicus berhasil mempublikasikan buku mengenai teori heliosentrisme. Tapi, ada oknum yang merubah isi bukunya."

"Benar, sih. Banyak orang yang tidak mau menerima. Sama hal seperti teori evolusi Darwin. Sebab enggak sejalan dengan kepercayaan agama mereka."

Luna mengangkat sebelah alis. "Kok arahnya ke sini, sih? Eggy jangan-jangan kamu meragukan agamamu sendiri? Aku coba kasih saran aja. Selain memperdalam ilmu astronomi seharusnya kamu juga memperdalam ilmu agama."

Kalimat terakhir Luna berhasil membuatku terdiam. Menyentak ideologi kesombongan yang selama ini kuangung-agungkan. Yang dikatakan Luna benar. Jujur saja, selama ini aku tersiksa dengan label agnostik yang kupercayai. Entah kenapa aku lebih sering merasa kesepian, karena tidak tahu tempat bersadu ataupun memohon. Namun, terkadang merasa bebas karena tidak mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Juga takut kalau yang selama ini kuanggap tidak masuk akal ternyata benar. Dan ketika mati, aku tidak membawa bekal sama sekali.

"Luna kamu suka astronomi juga?" tanyaku. Berusaha untuk tidak memperpanjang percakapan sebelumnya.

"Aku suka astronomi, filsafat, musik, dan juga sastra. Tapi satu pun gak ada yang menonjol."

Jawaban Luna sontak membuatku terkagum. Dengan begitu perempuan berambut hitam panjang di depanku ini pasti berpengetahuan luas. Selain itu, aku juga bisa menambahkan kalau Luna sebenarnya juga ahli matematika. Kalau aku jadi dia, sudah pasti bingung dengan tujuan hidup. Mau memperdalam ilmu yang mana.

"Kakak-kakak. Sudah belom ngocehnya? Kapan kalian mau lanjut belajar?" Aldebaran menengahi. Raut wajahnya pertanda bosan karena diabaikan.

Aku dan Luna tertawa kecil. Perempuan cantik itu mulai merogoh tasnya dan mengeluarkan buku-buku. Sementara aku tinggal melanjutkan beberapa pengoreksian yang tak lama lagi selesai.

 Sementara aku tinggal melanjutkan beberapa pengoreksian yang tak lama lagi selesai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Topik bahasannya rada sensitif. Tapi aku coba hadirkan Luna sebagai penyeimbang. Buat kalian, tetap jaga keimanan, ya😁

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang