Kasturi merenggangkan tangannya lalu ia berkedip beberapa kali. Cukup sudah bermalas-malasannya kini ia harus segera membersihkan tubuhnya lalu memikirkan untuk memasak, lagi. Inilah alasan Kasturi malas menikah, ia akan selamanya dihantui pikiran 'nanti bakal masak apa'. Walaupun Kasturi terbiasa hidup di kosan tetapi kedua hal ini jelas berbeda, bila ia dikosan gampang saja untuk mencari atau membuat makanan seadanya. Atau bahkan tak makan pun tak apa kau hanya perlu menahannya walau sedikit perih. Kasturi sadar ini hal yang tidak baik, tetapi tak memungkiri Kasturi pernah beberapa kali melakukannya.
Kasturi berjalan menuju cermin di samping lemari berwarna hitam. Ia menarik rambutnya agar terkucir rapih--ikatan ekor kuda. Rambut Kasturi panjang berwarna sedikit kemerahan, baru beberapa hari ini ia memperlihatkan rambutnya pada kedua pria rumah ini. Sebelumnyakan Kasturi menyampirkan kerudung layaknya tudung, jujur ia masih belum bisa terbuka seutuhnya, entah itu soal perubahan apapun. Beberapa hari ini memang hawa sekitar menjadi semakin memanas. Walaupun rumah ini full AC Kasturi juga tidak menghidupkannya duapuluh empat jam bisa mati yang ada, bukan mati kedingian, lebih tepatnya badan Kasturi akan mulai terbisa dimanja kalau seperti itu.
Guyuran shower membasahi tubuh Kasturi. Benar, ini rasanya seperti sedang berjalan di jembatan rapuh. Padahal jalan keluarnya sudah jelas, Kasturi hanya perlu maju atau mundur. Sebenarnya Kasturi sudah memilih untuk maju, tetapi itu ia lakukan dengan perlahan dan gemetar, mengakibatkan tekanan luar bisa ditubuhnya dan juga pada jalan yang akan Kasturi lalui. Kasturi sudah pernah bilangkan, kehidupan masa depannya selalu ia rencanakan dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin matang dengan sempurna. Ia sangat takut bila tiba-tiba ia tersungkur, Kasturi masih belum menemukan tempat pulang, bagaimana dia mau mengambil resiko yang begitu besar ketika ia tak pernah benar-benar percaya dengan dirinya sendiri.
*****
Suara pintu didorong terdengar sampai telinga Kasturi, ia berhenti memotong wortel. "Cal," panggilnya pada seseorang yang telah memasuki rumah. Empat detik berlalu tidak ada sahutan. "Calixto?"
"Iya," jawab orang yang disebrang sana. Kasturi belum terlalu hafal ciri khas suara Calixto kalo cuma iya dong mah kucing juga bisa.
"Mau makan atau puding aja?"
"Puding." Halah ga like Kasturi jawabnya singkat bener, mana tau klo gitu mah. Kan bisa gitu tanya makanannya apa atau pudingnya rasa apa, biar panjang gitu percakapan mereka.
Kadang tuh Kasturi masih belum percaya ia menjadi bagian dari keluarga ini. Memikirkan suatu saat nanti temannya mengetahui kebenaran bahwa dirinya memiliki sebuah keluarga dengan anak yang seumuran dengannya saja Kasturi rasa otaknya bakal ngebul. Apalagi memikirkan reaksi teman Calixto mengetahui temannya memiliki Mahmud yang usianya berjarak hanya satu setengah tahun lebih tua. Apakah Calixto akan baik-baik saja.
Kasturi ikut duduk di ben bag samping Calixto setelah menyerahkan puding coklat di tangan kanannya pada Calixto, televisi didepannya menyiarkan tayangan wild nature, gini ya TV orang kaya tanyangannya berfaedah.
Kasturi anteng nonton TV sambil sesekali menyendokkan puding kemulutnya. TVnya gede kek layar tancep Kasturi makin nyantuy aja dibuatnya. Waktupun berlalu dengan singkat Kasturi sudah menguap beberapa kali bahkan ia sudah tidak menyadari orang di sampingnya telah pergi. Kasturi merebahkan tubuhnya menjadi berbantal pada ben bag, ia memandangi langit-langit yang kian lama menjadi kabur berbayang-bayang.
*****
Kasturi membuka matanya perlahan, lalu ia menegok ke kiri, ia mengerenyitkan dahi. Ah makanya asing dengan tempat ini, siapa yang memindahkan dirinya hingga sudah berbaring diatas kasur seperti ini.
Tidur, bangun, tidur, bangun lagi kehidupan yang monoton, membosankan.
Kasturi mengambil handphonenya di astas nakas ia memaikannya beberapa menit lalu menaruhnya lagi, ia menggambil nafas panjang menghembuskannya kasar. Kasturi melamun menatap jam dinding, tiba-tiba kencangnya suara rington handphone membuyarkan lamunan Kasturi. Kasturi merubah posisinya menjadi duduk, ia menempelkan handphoone pada telinga siap untuk mendegarkan sambutan percakapan orang di sebrang.
Ayah Calixto keluar dari kamar mandi, ia mengeringkan rambutnya sambil berjalan ke arah kasur.
Ayah Calixto mengenyitkan dahinya melihat perempuan didepannya menatap kosong tembok di depannya.
"Kas," panggilan ketiga setelah beberapa kali Ayah Calixto diabaikan.Kasturi sedikit terjingkat, ia menengok ke arah Ayah Calixto yang berada di sebrang kasur. "Kenapa?" tanya Ayahnya Calixto melihat istrinya melamun hingga mengabaikan panggilannya beberapa kali.
"Bapak masuk rumah sakit, " jelas Kasturi.
"Rumah sakit mana?"
"Graha Kusuma," jawab Kasturi seadanya.
"Ya sudah ayok saya antar, jangan ngelamun terus kamu, siap-siap sana."
"Memang harus?" tanya Kasturi pelan yang entah ditujukan pada Ayah Calixto ataukah malah pada dirinya sendiri.
*****
"Bapak masih di UGD, Mbak." terang adik Kasturi yang menjemput mereka di pintu lobby rumah sakit.
"Kenapa?" Bukan. Ini bukan suara Kasturi. Sura ini milik Ayah Calixto.
"Serangan jantung."
Kasturi mengekori Adik dan suaminya, entah mereka yang berjalan lebih cepat ataukah Kasturi yang melambat. Sungguh ia tak tau harus bereaksi seperti apa, tapi dadanya terasa sesak, ini benar-benar memuakkan.---------------------
Hola, hello, annyeong!
Udah mulai mendekati konflik nih.
Komennya aku tunggu ya gaisu!
Spam aja kalo mau up cepet, gahahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
SONshine
Short StoryKasturi kira ia hanya akan menghadapi suami dalam sekenario pernikahannya, tapi nyatanya apa? ia malah terikat oleh anak tirinya yang seumuran dengan Kasturi. Sopankah takdir menggiringnya bak hysteria? Dalah, tunjukkan Kasturi dimana arah kamera m...