"Uhuk.. uhuk.. huk..", suara batuk keras berkali-kali terdengar jelas dari ruangan 3. Aku selalu mengingat suara batuk itu, khas sekali sampai-sampai terngiang terus-menerus di kepalaku. Suara batuk tanpa lendir itu terasa sangat rapuh dan putus asa. "Mungkin seorang perempuan paruh baya", gumamku dalam hati. Tidak jarang kepala ku seolah-olah memutar sendiri suara tersebut dan membuatnya seakan nyata, padahal aku melihat sendiri ruangan sebelah kosong. Mungkin aku mulai terbiasa dengan suara orang batuk, tapi tidak, suara batuk ini memang berbeda.
Sudah hampir tiga minggu aku menjaga ruangan ini dengan segenap kemampuanku sebagai seorang relawan klub kesehatan. Ayahku menentang keputusanku ini karena dianggap tidak terlalu berkorelasi dengan karir maupun tujuan ke depan ku kelak. Namun bagiku ini adalah tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, untuk membuat diri ini berguna bagi masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi, setidaknya itulah yang ku pegang saat ini. Satu-satunya hal yang membuatku sanggup melakukan ini. Lagi pula aku tidak diperbolehkan pulang ke tempat asalku karena pandemi covid-19. Paling tidak ini adalah salah satu hal yang bisa ku lakukan sembari mengisi waktu luang.
"Dok, saya mau jalan-jalan." Ujar salah satu pasien perempuan berusia 60 tahun-an di tengah pergumulan pikiranku. "Eh iya bu, nanti sore ya sekarang masih jam 2, masih terlalu panas" jawabku dengan lembut sambil menghampiri tempat tidur berselimut hitam miliknya yang dibawa khusus dari rumah. Aku tidak ingin repot-repot mempermasalahkan panggilan "dok" yang ditujukannya kepadaku, ada cerita sendiri dibalik semua itu tapi akan kuceritakan nanti. Ibu Widya memang cukup unik sekaligus beruntung. Ia memiliki anak-anak yang sangat kompak dan siap membantunya kapanpun ia membutuhkan meskipun terkadang permintaannya aneh-aneh. Di masa mudanya ia banyak melakukan aktivitas fisik seperti mendaki dan berkemah. Tidak heran jika dirinya cukup tertekan jika harus berada di dalam kamar dalam waktu yang lama.
Menghadapi pasien yang sudah berumur bukan perkara mudah. Beberapa kali keributan pun tidak dapat ku hindari. Namun dari mereka juga aku mempelajari trik-trik unik yang sebelumnya bahkan tidak mampu ku bayangkan. Sebut saja nenek Salini, ia kerap kali menolak ketika diberikan obat. Namun di hari ke tiga ia justru berupaya meminum obat tersebut dengan berbagai cara. "Crek...crek. kresek..kresek..kresek", ku dengar suara itu ketika dirinya hendak meminum obat. Siapa sangka nenek Salini mencoba meminum obatnya bersamaan dengan bubur dan ciki yang dibawakan oleh suaminya. Aku pun tidak paham bagaimana ceritanya suami nenek Salini yang juga seorang pasien dapat kesempatan untuk membeli ciki. "Ah pasangan itu memang nyentrik", ujarku sambil geleng-geleng sendiri di ruang karyawan.
Waktu menunjukan pukul 4 sore. Aku bergegas menghampiri Ibu Widya untuk membawanya jalan-jalan sore. Namun begitu tiba di sana, ranjangnya kosong. Selimut hitam miliknya pun tidak ada. "Apa sudah pulang?", gumamku sambil melihat-lihat sekitar tempat tidurnya. "Kopernya masih ada, apa dia keluar sejak tadi...", ujarku sambil merasa bersalah karena tidak menemaninya sejak ia minta jalan-jalan tadi. Aku berlari melewati lorong sisi timur rumah sakit, tidak ada tanda-tanda bu Widya. Aku pun menelusuri sepanjang taman, dari bangku-bangku hingga masuk ke dalam labirin semak-semak. "Sejujurnya tidak mungkin juga bu Widya masuk ke labirin ini. Anak-anak muda saja ogah berhadapan dengan tebing-tebing semak tinggi yang menghalangi matahari masuk ini. Tempatnya yang remang sangat tidak cocok untuk jalan-jalan sore", gumamku dalam hati sambil menengok ke segala penjuru memastikan apakah bu Widya ada disana. Semakin ku cari dirinya semakin aku merasa frustasi. "Kemana bu Widya? Ia tidak pernah menghilang sebelumnya. Apakah anak-anaknya menjenguk dan mengajaknya keluar? Atau ada rahasia di rumah sakit ini? Jangan-jangan ini seperti di film-film..", berbagai pertanyaan dan pikiran aneh muncul dalam benakku. Setelah putus asa mencari hingga ke toilet, mushola, kantin, dan tempat parkir aku akhirnya memutuskan untuk bertanya pada dokter dan para perawat lain. Aku menyadari kegegabahanku dalam menghadapi masalah. Mungkin orang yang waras akan memilih bertanya terlebih dahulu alih-alih berlarian kesana-kesini tanpa arah dengan tekad kuat akan menemukan orang yang dicari. Tapi inilah aku seorang manusia yang bertekad kuat tanpa berpikir, mencoba memahami cara kerja dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Manusia
RandomSebuah rangkaian fenomena sosio-kultural sehari-hari yang diceritakan lewat kisah seorang perempuan bernama Azura. Pembaca yang terhormat dipersilakan membaca cerita ini dengan mata, hati, dan pikiran yang terbuka. Selamat membaca!