"Udah seminggu kamu kayak gini." Gun mengusap pucuk kepala Chimon yang tertunduk. Anak itu menangis selama lebih dari satu jam, membuat Gun sontak terkejut melihat adiknya yang selama ini dikenal ceria, selalu memberikan senyuman terbaiknya untuk melayangkan semangat di tiap langkah Gun terpatri, kini berubah. Genap seminggu pemuda itu sering mengurung diri di dalam kamar dan menangis tergugu semalaman suntuk.
"Chi, di sekolah ada masalah ya?"
Bukan gelengan kepala yang diberikan kepadanya, malah tangisan itu bertambah keras. "Chi kalau mau cerita, ada Kakak di sini."
"Kakak nggak kerja?"
Senyum lebar tercetak di wajah Gun setelah Chimon akhirnya membuka suara. Pria itu terpekik girang sambil antusias menjawab.
"Kakak libur. Chi mau jalan-jalan? Pumpung Kakak libur nih, mau nggak?"
Mendadak Chimon beranjak berdiri dari sofa dan melangkahkan kaki mundur. "Kakak nggak libur kan? Kakak dipecat dari kafe Nyonya Anne kan?"
Tubuh Gun tersentak.
"Chi... Darimana kamu tahu kalau—"
"Aku tahu semuanya kok. Selama ini Kakak terpaksa cuti kuliah kan? Terus Kakak pontang-panting kerja jadi tukang cuci piring di dua tempat sekaligus. Kakak jadi tukang parkir di mall pusat kota juga kan?"
"Chi Kakak nanya sama kamu, kamu tahu darimana info itu?"
"Bahkan aku juga tahu kalau Kakak kerja di bengkel pas aku udah tidur."
"Chi jawab dulu pertanyaan Kakak."
"Kenapa Kakak nyembunyiin ini? Kenapa nggak mau cerita?"
"Chi..."
"Aku beban banget ya Kak?"
"Nggak Chi."
"Selama ini aku ngerepotin Kakak ya?"
"Nggak ada yang kayak gitu, dengerin dulu!"
Kedua mata Chimon terasa semerbak panas. Dan warna yang berada dalam pandangan matanya berubah buram.
"Tiga hari lalu aku samperin Kak Gun di kampus sampai malem. Aku ketemu orang yang bilang kalau Kakak nggak pernah kuliah sejak semester tiga."
"Chi..."
"Kakak bilang, universitas itu cita-citanya Kakak selama ini? Kok dilepas?"
"Chi, Kakak mohon Chi.." Gun mengangkat kepalanya menghadap langit. "Kenapa ke kampus nggak bilang Kakak? Ada perlu apa?"
Di hadapannya, Chimon terisak lebih kencang. Menjatuhkan luapan air mata yang menetes deras membasahi wajahnya. Kecewa ia mengetahui Kakaknya ternyata membohonginya. "Mau ajak Kakak makan waktu itu, jalan-jalan ke taman, atau muter-muter lihat bianglala. Ada karnaval di deket pasar. Aku pikir biar Kakak nggak stres ngerjain skripsi kalau aku ajak Kakak main bentar."
Gun menangis. Rasa bersalahnya membuncah menjadi satu titik lubang hitam. "Maafin Kakak.."
***
Bulan sabit yang bersinar dua hari lalu kini berganti bulan mati yang tak bercahaya, membuat lapisan-lapisan bumantara demikian legam. Hanya bersisa bisik lirih arwah-arwah yang melintas dan tak sengaja ditangkap oleh sudut mata Gun.
Malam ini hanya ada cahaya bintang yang berpendar ragu-ragu, hening diselingi salakan anjing yang melolong dan rengekan belalang di kanan kiri jalanan sunyi. Sampai terdengar deru langkah terseok-seok memberisik, memecah hening dengan bising yang mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palmistry [OffGun]
FanfictionCOMPLETED Sinopsis : Kalau kamu percaya takdir berada di tiap bentang garis tangan, maka Gun dengan segala keberaniannya menentang takdir tidak pernah percaya akan garis tangan yang membawanya pada seutas benang merah. Liku, ceruk, lintang, naik dan...