11 - Won't Let Him Know

1K 113 19
                                    

🎶Wish I could be InvisibleCause I don't want anyone to knowThat I don't know where I'm supposed to goFeel like I'm paralyzed🎶

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎶
Wish I could be Invisible
Cause I don't want anyone to know
That I don't know where I'm supposed to go
Feel like I'm paralyzed
🎶

Siapa yang tidak mendambakan keluarga harmonis? Selalu makan bersama setiap pagi dan malam; saling mengucapkan salam sebelum berpisah, entah itu bepergian ke mana atau ke kamar masing-masing; atau saling menceritakan kejadian hari ini sebelum beranjak dari meja makan. Biasanya aku tidak pernah absen memamerkan nilaiku yang bagus pada Mom atau Dad—dengan catatan hanya nilai di atas B. Selebihnya, akan kusembunyikan.

Sebenarnya mereka tidak akan marah jika nilaiku jelek, tetapi aku tidak ingin melihat mereka kecewa, atau Mom tidak akan membuat popcorn lagi dan Dad tidak mengizinkanku ikut pergi memancing bersamanya. Aku sangat ingat hari itu, di musim panas ketika Ava kecil pulang sekolah dan mempersiapkan diri untuk perkemahan musim panas.

"Mom?" Waktu itu aku memanggilnya hati-hati. Mom duduk memeluk lutut di antara peralatan makan dan alat-alat memasak yang berserakan di lantai. Dapur seperti baru saja diguncang gempa. Pemandangan yang baru pertama kali kulihat itu benar-benar sangat mengerikan. Ava kecil mulai ketakutan.

"Oh, Ava pulang cepat?" Mom tampak kaget dan cepat-cepat bangkit dari posisinya. Dia mulai mengumpulkan barang-barang yang berserakan. Aku menyusul tepat setelah menjatuhkan tas ranselku di lantai.

Wajah Mom sangat pucat. Ava kecil tidak berhenti memandang wajahnya yang kehilangan cahaya. Gatal sekali lidahku untuk bertanya apa yang terjadi dengannya. Namun, setelah melihat senyumnya yang pilu, semua yang ingin kukatakan ikut tertelan bersama ludah. Ava kecil yang malang, dia tidak ingin pertanyaannya melukai Mom, hingga sampai setua ini aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Mom saat itu. Yang pasti, aku tahu Mom tidak baik-baik saja dan aku membatalkan rencana untuk berkemah. Kupikir Mom perlu ditemani.

Itu adalah seminggu sebelum aku mendapati Mom pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aku menelepon 911 setelah menghubungi Dad. Aku tidak tahu sejauh apa kantor Dad hingga orang-orang medis tiba lebih dulu daripada dia-dan nyatanya, kantor Dad tidak cukup jauh dari rumah. Fakta bahwa Dad tidak tampak sangat panik waktu itu berhasil membuatku keheranan. Aku sempat berpikir, mungkin Dad sudah lebih dulu mengetahui kondisi Mom.

Aku mengikuti Dad ketika dia diminta ke ruangan salah seorang dokter yang menangani Mom-di pintunya terdapat tulisan 'Oncologist' dan saat itu aku belum tahu kalau kalau artinya adalah dokter spesialis kanker. Mereka membahas tentang pengobatan, kondisi Mom yang memburuk, tidak bisa menerima segala jenis pengobatan, sampai kudengar istilah stadium untuk yang pertama kalinya.

Di usia sebelas tahun, aku mengetahui kalau Mom menderita kanker paru-paru stadium akhir. Faktor genetika.

Dad selalu bilang Mom akan sehat kembali, tetapi aku tidak melihatnya demikian. Wajah Mom kian memucat, seperti darahnya tersedot setiap hari. Mom rutin dijadwalkan kemoterapi selama beberapa bulan, tetapi dia masih sering pingsan di rumah karena kesulitan bernapas. Sayangnya, Mom tidak punya saudara yang bisa dihubungi untuk menemaninya di rumah. Hingga akhirnya dirawat inap di rumah sakit.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang