15| Harapan Baru

48 8 2
                                        

Seminggu berlalu. Tujuh hari yang penuh arti perjuangan. Meskipun tak semua orang menganggapnya begitu.

Dua hari lalu. Tetangga yang merupakan teman Ayah datang ke rumah. Aku tidak ingat tujuannya datang. Tapi, pertemuan itu menciptakan banyak obrolan. Obrolan yang tidak kusukai. Orang itu meremehkan karena aku yang pada saat itu sibuk dengan buku melintas di depannya. Dia bilang, "Tidak usah rajin-rajin Eggy. Sukses itu tidak tergantung nilai. Contohnya keponakan Mamang. Di sekolah peringkat terakhir, nakal. Tapi sekarang jadi TNI."

Aku sangat kesal mendengarnya. Merasakan sakit, hingga tak sadar hampir menjatuhkan barang bawaan. Sambil menguatkan hati, aku hanya balas tersenyum beriring anggukan kecil. Lantas masuk ke kamar.

Semua orang punya cara berjuangnya masing-masing. Aku sedang belajar sekarang. Dan itu bentuk perjuangan yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Demi Ibu dan Ayah. Aku tidak mau membuat mereka menangis lagi.

Aku menengadahkan kepala. Bodoh sekali. Kenapa sekarang aku yang ingin menangis?

Suara ketukan pintu berhasil membuatku terperanjat. Seketika melupakan rentet kejadian di hari lalu. Aku pun buru-buru mengusap air mataku yang sedikit terlepas ke pipi.

"Boleh Ibu masuk?" tanya suara dari luar.

"Iya," balasku setengah yakin. Sebab belum terlalu selesai mengusap sisa air di sekitar mata.

Ibu membuka pintu. Berjalan mendekat dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangan kirinya. Tangan kanan memegang sapu.

Dia duduk di ujung dipan sambil menyodorkan kotak kepadaku. "Ini," katanya.

Aku belum melihat isinya. Tapi seolah otak ini sudah menangkap betul benda apa yang ada di dalam. Tanpa membukanya aku pun lekas memeluk Ibu.

"Uek ...." Ibu berlagak muntah dan mendorong pelan bahuku. "Buka dulu kotaknya."

Aku melepas pelukanku seraya mengomel dalam hati. Tanpa mau lagi menoleh ke arahnya dan langsung melihat isi dalam kotak. Ternyata dugaanku benar.

"Ibu beli itu di pasar tadi sore. Dipake buat belajar. Awas kalau download permainan."

Aku tidak mengindahkan. Sibuk menggeser layar ponsel, dengan maksud mendownload semua aplikasi yang pernah disarankan Luna. Termasuk Night Sky Map. Katanya lewat aplikasi itu aku bisa menemukan konstelasi yang mau aku lihat tanpa perlu membuka lebar peta bintang yang pernah aku buat.

Satu jitakan mendarat di kupingku. "Dengar tidak Ibu ngomong apa?"

"Iya iya."

Aku kembali sibuk dengan ponsel. Sementara Ibu mulai berdiri dan mengambil sapunya yang berseder di rak buku. Dia berjalan ke luar. Tak lupa menggenggam kepala atasku. Se per sekian detik. Si tukang marah benar-benar pergi dari kamar.

Aku berpindah ke dipan. Terus berbaring miring sambil bermain ponsel. Awalnya aku tidak kepikiran jangan-jangan nih ponsel tidak ada kuotanya. Tapi setelah puas mendownload banyak aplikasi, aku pun tersadar untuk mengecek berapa sisa kuotaku sekarang.

Aku menyudahinya dan memilah kembali apa yang benar-benar kubutuhkan. Pada akhirnya, kuputuskan untuk tidak mendownload media sosial. Kecuali WhatsApp. Aku mau mengubungi Luna.

Aku menyimpan ponsel hati-hati di bawah bantal. Beranjak mendekati jendela seraya menatap langit malam sebelah utara. Tepatnya konstelasi Canis Major. "Sirius. Semoga aku bisa menatapmu dari tempat berbeda suatu hari nanti."

"Mangkanya harus lebih rajin belajarnya."

Aku menoleh ke sumber suara. "Ayah?"

Pria buncit itu duduk jitu di tempat Ibu sebelumnya. "Gimana? Suka ponselnya?"

Aku mengangguk. "Terima kasih banyak. Itu pakai duit, Ayah?"

Ayah menggeleng.

"Itu murni dari Ibumu. Dia jual mas miliknya. Dia enggak bilang?"

Giliran aku yang menggeleng. Kembali merasakan sesuatu yang seperti menyumbat di dada.

"Kamu boleh kok sedih. Tapi setelah itu harus rajin belajar. Terus jangan bantah omongan Ibumu."

Aku tersenyum. Lalu dibalas Ayah dengan rangkulan bahu. Aku tahu Ayah lebih bisa romantis dibanding Ibu.

Ini malam terbaik. Ayah dan Ibu menunjukan kasih sayang dengan cara mereka sendiri. Walau hanya rangkulan bahu. Entah kenapa aku merasakan kehangatan. Seolah kedua orang yang kusayang memelukku di waktu bersamaan.

Dering ponsel. Aku lekas mengecek barang baruku yang tersimpan di bawah bantal. Namun, bukan berasal dari sana. Itu milik Ayah.

"Halo?"

"Siapa?" tanyaku.

"Adik Ayah."

Aku mengangguk.

"Oh, Miller juga daftar di sekolah yang sama dengan Eggy? Iya lagi sibuk belajar buat seleksi. Miller-nya juga, kan?"

Setelah bincang singkat itu. Ayah menutup ponsel bututnya. Kemudian beranjak hendak meninggalkan kamar dengan langkah lambat. Kebiasaan Ayah yang tiap hari duduk berjam-jam kemudian jarang berolahraga. Ototnya hilang termakan gumpalan daging.

Setelah pintu ditutup dari luar. Pikiranku beralih pada Miller. Siapa dia aku tidak kenal. Karena Ayah perantauan jadi aku tidak terlalu tahu banyak tentang keluarganya. Dan lagi Ayah yang seperti sebatang kara ini tidak pernah niat pulang kampung. Seharusnya aku tahu alasan paling mendasar, Ayah tidak punya ongkos untuk pulang.

 Seharusnya aku tahu alasan paling mendasar, Ayah tidak punya ongkos untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

NEBULA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang