Irene Agustine.
Selasa, 1 Juni, 07.43Jam pertama hari ini adalah mata pelajaran wajib bahasa Indonesia yang membosankan. Aku tak pernah menyukai pelajaran bahasa apalagi bahasa Inggris. Jika disuruh memilih pelajaran bahasa atau matematika, aku lebih memilih untuk tak mempelajari mereka.
Apa? Kalian mengira aku akan memilih matematika begitu? Yang benar saja, lalu bagaimana ceritanya aku bisa menyukai matematika sedangkan nilai matematika adalah nilai terendah yang kudapatkan dari semua mata pelajaran wajib. Di sekolah ini yang kusenangi hanya ekstrakurikuler modelling, tidak lebih dan tidak kurang.
Aku tengah berjalan di koridor menuju lab bahasa dengan membawa dua buku paket dan satu buku tulis lengkap dengan alat tulisnya, sampai seseorang dengan sengaja menabrak bahuku keras membuat tubuhku goyah dan menjatuhkan apa-apa yang ada di tanganku. Sontak aku mendesis dan berkata dengan nada bicara tinggi, "Lo bisa jalan nggak sih?!"
Seorang gadis dengan kroni-kroninya yang terdiri tiga orang, berbalik melihatku yang telah mengepalkan tangan kuat di samping badan.
"Eh, ternyata ada Irene. Gue kira lo sudah nggak berani buat menginjakkan kaki lo disini," pungkas gadis dengan rambut panjang bergelombangnya. Kayla. Aku tertawa pelan, membuatku tanpa sadar menyeringaikan bibirku.
Lihat, betapa beraninya dia berucap begitu padaku. Saat semua orang dulu menjauhinya karena dia dirisak habis-habisan oleh kakak kelas; yang sekarang sudah menjadi alumni. Aku dengan beraninya membela dia karena tidak ada yang menolongnya dengan mengancam kakak kelas itu untuk melaporkan tindakannya kepada polisi atas tuduhan kekerasan. Sekarang, apa pantas dia berlaku kurang ajar kepadaku semata-mata hanya karena rumor itu?
Tidak ingin berlama-lama menatap wajah Kayla aku memerintahkannya untuk membereskan buku-bukuku. "Beresin buku-buku gue!"
"Irene, lo kan punya tangan. Kenapa nggak lo ambil sendiri aja?" ucap Kayla dengan pendangan meremehkan.
Dia benar-benar keterlaluan! Dia yang jelas-jelas sudah menabrakku, tidak meminta maaf malah semakin melunjak. Aku merangsek maju untuk memberinya pelajaran dan melayangkan tanganku untuk memberinya tamparan yang keras, "Lo bener-bener ke-" ucapan dan gerakanku terhenti karena sebuah tangan yang lebih besar dariku mencekal pergelangan tanganku dari belakang.
Mataku beralih pada orang yang beraninya mencegahku untuk mengajarkan sopan santun pada Kayla. Aku terhenyak mengetahui itu adalah tangan Rakai-pacarku.
"Kai, lepasin tangan gue!" bentakku kepada Rakai.
Bukannya melepaskan cekalannya kepadaku dia malah berucap, "gue mau ngomong sama lo." Amarahku terhadap Kayla sedikit reda dan menunggu Rakai untuk melanjutkan perkataannya.
Rakai menghela napas. "Gue minta, kita putus."
Deg! Aku menelan ludah dan amarahku kembali memuncak. Pusat pandanganku hanya menelusup ke dalam bola mata coklat Rakai, mencoba mencari titik kebohongan. Sialnya matanya sama sekali tak memancarkan kebohongan. Aku tak masalah kehilangan teman, tetapi kehilangan Rakai, entahlah dia yang lebih sering menjadi sandaran bagiku saat aku terpuruk karena diomeli Ayah lewat telepon yang memaksaku untuk belajar giat atau pun berbagi cerita suka kepadanya. Dia satu-satunya.
Kedua mataku sudah berkaca-kaca dan aku juga mendengar Kayla dan kroni-kroninya yang jelas mendengar ucapan Rakai tengah tertawa pelan diiringi dengan ucapan simpati yang tak sesungguhnya.
Jasmine berujar, "duh, kasihan diputusin."
"Jangan sedih ya, Ren."
Rakai, mengapa dia memutuskanku secara tiba-tiba seperti ini? Apa ini semua karena rumor itu? Atau dia sama seperti Kayla dan yang lainnya, yang hanya memanfaatkan ketenaranku untuk menjalin hubungan denganku, dan setelah berita mengerikan itu beredar dia memilih menjauhiku agar tidak merusak reputasinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE RUMORS
Teen FictionOrang yang menyebarkan rumor pastilah terkena sakit jiwa. Karena mereka menganggap kejadian yang mengerikan itu sebagai humor. Rumor memang cuma beda satu huruf dengan humor, tetapi artinya berbeda jauh. Yang satu bisa membuat tertawa terbahak-bahak...