BAB 18: Prasangka

124 11 5
                                    

Elfarehza

Alyssa tersenyum lembut sambil menepuk pelan pundak kakaknya. Dia tahu saat ini El masih kesal, karena Brandon kembali menjual motor yang dibelikan oleh Sandy sepuluh hari yang lalu. Apalagi dalam minggu depan mereka akan pindah rumah. Arini terpaksa menyetujui keinginan Bran untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.

"Mau sampai kapan Abang diemin Papi?" tanya Al ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah.

Pemuda itu mengangkat bahu sambil mendesah pelan.

"Udah dua hari loh, Bang. Lebih dari tiga hari udah dosa, apalagi sama orang tua sendiri," tanggap Al berusaha menasihati kakaknya.

"Kamu nggak ngerti sih perasaan Abang sekarang."

"Siapa bilang nggak ngerti? Aku tahu kok, 'kan ikut menikmati juga kalau Abang punya motor."

El menatap malas adiknya, kemudian melengos ke sisi kiri jalan.

"Aku ketemu sama Tante Moza waktu ke mall hari Minggu kemarin," ungkap Al membuat El kembali melihat ke arahnya.

"Oya? Kok nggak cerita sih?" protes El menyipitkan mata. "Udah lama nggak ketemu sama Om Fahmi juga. Pasti kamu nggak bilang Abang ada di mall juga."

Al tersenyum kecut ketika ingat pertemuan dengan Moza—mantan pacar terindah Brandon—dan Fahmi—pria yang pernah dijodohkan Bran dengan Arini. Dia melirik kepada supir yang fokus melihat jalan.

"Nanti aku ceritain. Tapi janji jangan sampai Mami dan Papi tahu," sahut Al.

El mengacungkan jari kelingking disambut oleh Al. Mereka mengaitkan jari tersebut, lantas menempelkan ibu jari. Keduanya kembali diam saat mobil terus bergerak menuju kawasan Jakarta Pusat, tempat sekolah berada.

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan pagar seperti biasa. El dan Al langsung turun bersiap melangkah memasuki pekarangan sekolah.

"Jadi gimana?" El melihat adiknya dengan raut penasaran.

Al menjepit bibir beberapa sambil bergumam. "Hari Minggu kemarin, aku janjian sama geng Jelita," ungkapnya.

Langkah El berhenti ketika mendengar perkataan Al. "Geng Jelita? Ayi dan kawan-kawannya?"

Al mengangguk.

Mata cokelat El membesar seketika. Ingatan pemuda itu kembali kepada satu tahun yang lalu ketika Ayi menyatakan perasaan dan ingin berpacaran dengannya, namun ditolak.

"Gila kamu, Dek. Kamu tahu gimana mereka, 'kan?" sergah El dengan suara tertahan.

Kepala Al perlahan mengangguk. "Tahu banget, Bang."

"Astaghfirullah, Dek. Kalau udah tahu harusnya jaga jarak, bukannya pergi sama mereka." Paras El tampak gusar sekarang.

"Tapi aku pengin dikenal juga, Bang. Apa salahnya sih bergaul dengan mereka? Toh sama-sama manusia juga."

El menatap lurus netra adiknya sambil memegang bahu Al erat. "Salah, Dek. Kamu belum tahu aja pergaulan mereka udah sampai mana. Gimana kalau kamu ikut terjerumus lebih jauh lagi?"

"Mereka baik kok, Bang. Nggak seburuk yang digosipkan anak-anak di sekolah." Al beralasan.

"Tetap aja jangan, Dek! Kalau terjadi sesuatu sama kamu gimana?"

Al tergelak mendengar perkataan Abangnya, sementara El memandang bingung.

"Kok ketawa?"

"Aku udah gede, Bang. Bisa jaga diri kok. Lagian cuma pergi ke tempat ramai kayak kemarin, bukan ke tempat sepi juga," tanggap Al mengibaskan tangan.

JUST MARRIED (Trilogi Just, seri-3 / Final)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang