Prologue

67 12 0
                                    

Alat-alat dengan teknologi tinggi telah memenuhi setiap sudut ruangan. Di sinilah Bella sekarang, tubuhnya telah duduk di salah satu sofa ruang kerja milik kakak sepupunya.

“Beneran harus gue, Kak? Kenapa gak bayar orang lain buat tes alat-alat baru lo ini?” pertanyaan yang bercampur dengan rasa kesal akhirnya terlontar dari bibir ranum Bella. Bagaimana bisa ia tak merasa direpotkan, sementara perkiraan waktu untuk mengetes satu alat akan memakan waktu kurang lebih sepuluh jam lamanya, ditambah lagi semuanya harus dilakukan tanpa boleh terjeda.

Bella harus duduk diam disini, dan menceritakan segala kisahnya yang dibutuhkan oleh sang kakak. Memperkirakan dirinya akan bosan ketika berlama-lama di ruangan ini.

“Orang biasanya kepo sama alat-alat baru gue. Lah lo udah gratis kesini, tinggal cerita doang repot banget. Seperti yang gue bilang kemarin, mungkin kisah lo juga bakal gue jadiin studi kasus. Makanya itu orangnya memang harus lo!” tegas perempuan di seberang ruangan, rambut cokelatnya tergerai rapih sampai ke punggung, dilengkapi dengan jas putih sebagai ciri khas dokter yang melekat dengan sangat apik di tubuhnya.

Bagaimanapun wanita itu akan tetap anggun walau sedang kesal mendengar keluhan yang dirasa tak penting dari sang adik.

Tak lama setelah itu, dengan cekatan ia mengambil satu alatnya yang akan melewati tes, menyodorkannya pada Bella, tak lupa ia membantu untuk meletakkan jari-jari adiknya ke alat tersebut, jari-jari yang bahkan masih terlihat mungil walaupun adiknya sekarang telah beranjak dewasa.

Wanita itu lalu duduk di hadapan Bella, mengikat rambut panjangnya yang tadi tergerai, tak lupa menyiapkan segala kebutuhan mereka selama sepuluh jam kedepan.

“Baik, pertama-tama perkenalkan, saya Arwenda yang akan menemani kamu-“

“Udah kenal, Kak Wen,” sanggah Bella, memotong ucapan sang kakak yang bahkan belum sempat terselesaikan.

“Alatnya akan mencetak sidik jari kamu, lalu menyalurkannya ke sistem-“ ucapan Wenda kembali terhenti, kali ini karena dia tahu Bella tak akan benar-benar mendengarkannya. 

“Pokoknya alat ini bakal terhubung sama cara kerja otak kamu setelah mulai bercerita, alatnya akan menggambarkan dengan sangat detail struktur otak kamu. Baiklah Arabella Courcell, silahkan mulai!”

Wenda melanjutkan arahannya, memang sedikit memerintah, tapi ia bisa terbilang cukup sabar menghadapi sikap Bella.

Tak lama kemudian, Wenda menatap adiknya dengan serius. Sedangkan sang adik hanya balas menatap dengan mengangkat alis sebagai isyarat bertanya.

“Namanya, Garriel bukan?” pertanyaan keluar dengan hati-hati. Tes kali ini mungkin akan sulit bagi adiknya, tapi Wenda yakin, adiknya telah sembuh, adiknya telah berhasil melewati masa-masa sulitnya.

Dan sekali lagi, tanpa banyak berkata-kata, Bella menjawab sang kakak dengan anggukan mantap. Bersiap untuk memulai ceritanya, kembali membuka kartu, tentang kisah luar biasanya bersama seseorang yang bahkan namanya sama sekali tidak dapat dilupakan oleh seorang Arabella Courcell.

Hold My UmbrellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang