"Rengganis, kau tahu? berpura-pura tangguh itu melelahkan."
Seorang wanita yang sejak tadi duduk termenung itu tersentak. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara. Terdapat seorang pangeran remaja yang tengah berbaring, memandangi hamparan bintang di langit malam.
"Besok.. adalah genap hari yang ke-100. Dan besok pun aku harus menyertai sebuah perang besar. Meski belum mempercayai ramalan itu, aku merasa bahwa batas waktuku memang sudah dekat.."
Rengganis tak merespon. Ia masih setia mendengarkan Kian Santang yang bermonolog.
"Aku tak mengharapkan akhir yang bahagia. Aku hanya ingin sebuah akhir." Lanjutnya, sembari memejamkan mata untuk mengenyahkan rasa pening yang datang secara tiba-tiba.
"Aku di sini, raden. Aku ada untukmu. Aku tahu ini tak membantu. Tapi hanya ini yang kubisa." Ucap Rengganis mencoba menenangkan.
"Aku merasa.. sakit yang aneh ini semakin menyebar luas di tubuhku. Sungguh ini begitu menyiksaku, rengganis.."
"Jika besok ajalku benar-benar tiba, apakah kau juga ada di sana?"Rengganis terdiam sejenak kemudian tertawa. "Raden, kau membuatku berpikir bahwa aku ini benar-benar penting dalam hidupmu."
Kian Santang yang mendengar gurauan itu pun ikut tertawa.
"...katakan padaku bahwa kau tak ingin pergi, raden. Aku tahu ini sulit, tapi tolong katakan saja!"
Melihat raut wajah temannya berubah, Kian Santang segera menutup pembicaraannya lalu pergi dari sana.
"Ini semua salahku. Dan asal kau tahu, Rengganis. Ini semua kemauanku di masa lalu. Aku pernah mengucap do'a yang buruk, dan kini aku menyesalinya."
===
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days
Historical FictionDiberi waktu hidup 100 hari untuk mendapat kebahagiaan, atau menjalani hari-hari penuh ancaman? note: cerita ini hanyalah sebuah karangan, tidak ada sangkut-pautnya dengan sejarah