11. Auto(psy)

150 21 0
                                    

Pagi ini ketiga orang itu tengah berkumpul di meja makan, melakukan kebiasaan sebelum memulai hari yang melelahkan.

Sarapan.

"Adel, ada yang harus Kakak bilang," buka Zea menghentikan pergerakan Adel yang sedang mengunyah rotinya, dan Axel yang tengah mengoleskan selai pada rotinya.

Yaa sebab Zea adalah kakak Axel, maka dia juga menyuruh Adel untuk menganggapnya demikian.

"Autopsi sudah dilakukan," sambungnya.

"A–apa?"

"Kak?!" seru Axel tidak mengerti.

Zea menghela napas pelan. "Kasus ini semakin rumit, ayah kamu, dibunuh oleh buronan polisi yang punya sebutan Invisible Killer," jelasnya mengambil jeda.

Zea meraih selembar tisu, membersihkan tangannya juga sudut bibir takut-takut jika terdapat sisa makanan yang menempel. "Kamu tau? Meminta izin pada keluarga korban sebelum dilakukan autopsi, itu cuman formalitas belaka. Terlebih, ini kasus langkah dari Invisible Killer, kamu pikir bagaimana kepolisian tidak tertarik?"

"Kak! Ucapan Kakak keterlaluan!" seru Axel dengan kening mengerut tidak suka.

"Tapi kenyataannya emang gitu, Xel," balas Zea santai.

Adel yang sebelumnya menunduk, mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Yaa kalau emang gitu, apa boleh buat? Polisi juga tertarik kan? Setidaknya ayah bisa bantu polisi buat tangkap pembunuh itu, walaupun cuman dengan hasil autopsinya," jeda Adel kemudian menghela napas pelan dan kembali menunduk.

Axel menoleh pada Adel, dengan tatapan tidak percaya. "Del!"

"Tapi, boleh tidak saya ngasih tau tante Vio? Bisa aja tante Vio, masih cemas sekarang?"

Zea mengulas senyum, kemudian mengangguk. "Syukurlah kalau kamu berpikir begitu, dan tentu saja kamu harus kabarin tante Vio itu. Oh ya, Kakak juga mau bilang kalau hasil autopsi ayah kamu bakal keluar malam ini," tandasnya kemudian beranjak dari meja makan.

"Kakak berangkat dulu, Axel jangan ngelakuin hal macam-macam, oke? Kamu baru sembuh lho, nggak lupa kan?" Setelahnya Zea mengacak puncak kepala Axel pelan, dan melangkah keluar.

Axel hanya memberenggut seraya mendengkus kecil, melihat punggung Zea yang semakin menghilang dari pandangannya kemudian diikuti dengan suara mobil yang keluar dari garasi. "Del, mau ke rumah lo nggak?" Axel menoleh dengan tatapan bertanya pada Adel, yang dengan cepat dibalas anggukan dari cewek itu.

"Yaa, gue harus ambil perlengkapan sekolah dan hal lainnya," balas Adel kemudian beranjak.

"Ehh gue anter, bentar, jangan pergi dulu, gue ikut!"

Adel berdecak pelan, kemudian memutar mata dan mengangguk. "Buruan, gue males nunggu."

"Iya iya, bentar doang elah gue cuman mau ngambil kunci motor aja, sama jaket," timpalnya yang dibalas dengan anggukan dari Adel.

Axel melangkah ke kamar meraih kunci motor, dengan dua hoodie yang akan dipinjamkan salah satunya pada Adel. Matanya melirik dua benda sekecil biji kacang yang ia simpan di kotak yang sama dengan alat pendeteksi kebohongannya, sebelah kemudian mengangkat sedikit sudut bibir tersenyum puas.

"Nih pake!" Axel memberikan satu hoodienya pada Adel yang masih duduk di meja makan, dan mengalihkan Adel dari layar ponselnya. Baru saja selesai, menghubungi Vio.

"Ayo!" seru Axel melangkah keluar.

Adel menatap hoodie itu sekilas, kemudian mengikuti langkah Axel.

Lalu tidak lama kemudian, di sinilah mereka. Kediaman Adel, beberapa orang dari tim penyelidik masih sibuk bermondar-mandir di sana, pun dengan detektif Tama.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang