Suara kunci pengaman memberi akses masuk terdengar, Maia mendorong pintu apartemennya dengan enggan. Ia melepaskan heels-nya dengan sekali tendang, tanpa repot merapikannya di rak kayu yang tersedia di dinding. Dengan pelan ia menyeret kaki telanjangnya ke ruang tengah, meneliti keheningan yang menyambutnya. Rahmat benar-benar tidak sudi bermalam di sini rupanya. Gadis itu menarik napas hingga bahunya terangkat sekian derajat. Kembali melanjutkan langkahnya yang gontai.
Klontang.
Maia menoleh ke sumber suara, belum sempat otaknya mencerna benda apa yang kiranya beradu dengan lantainya barusan. Netranya menangkap punggung yang agak bungkuk, menyembul dari meja dapurnya. "Mas?" panggilnya, sembari melempar tas tangannya ke sofa.
Punggung itu menegak, dan tampang polos pemiliknya mengarah pada Maia. "Eh, Mbak? Masuk kok nggak Assalam--"
Maia justru menghambur ke arah Rahmat, dan membenamkan wajah di dadanya. Rahmat menjatuhkan kanebo kotor di tangannya. Kelopak matanya seolah tak sanggup menahan bola matanya yang membesar tiba-tiba. Suaranya tercekat di kerongkongan. Kedua tangannya masih menggantung kaku di sisi tubuhnya, tidak punya pengalaman merengkuh wanita, kecuali mungkin ibunya. Itu pun belum tentu setahun sekali. Dan apa yang harus dilakukan sepasang tangan yang berlumur jelaga ini?
Rahmat memutuskan untuk meletakkan kedua tangannya di belakang punggung. Maia seperti memeluk tiang listrik sekarang.
Merasa keheningan itu bisa membunuh selera makan Rahmat, ia pun bertanya hal standar, "Mbak kenapa, to?"
Kedua lengan mungil itu melingkar semakin erat di pinggangnya. Rahmat seolah dilarang bernapas, karena jantungnya menggembung sebesar balon. Rahmat tidak menemukan jawaban dari tebakan apa yang terjadi pada Maia sampai ia sekhilaf ini peluk-peluk orang?
Bukannya apa, tapi kan Rahmat tidak percaya diri, bajunya saja gembel, aroma sabun Lifebuoy-nya mungkin sudah bercampur dengan keringat lagi. Dia takut Maia muntah-muntah habis ini. Dibandingkan wanginya Wisnu yang macam pintu firdaus itu ya, misalnya. Wangi Rahmat ini barangkali pintu Bantar Gebang.
"Kokh ahm ge dplksn blik, se mh?" gumam Maia yang masih menyandarkan wajahnya di dada Rahmat.
Dijamin halal Rahmat belum pintar bahasa peralienan macam kumur-kumur dalam gentong begini. Apa pasal yang mau disampaikan Maia? Ingin tanya balik, tapi takut Maia ngamuk dan acak-acak apartemen, sayang kan sudah dirapikan sejak subuh.
"Hmm, brbrbrbr grgrmm?" Rahmat mencoba jawab semampunya. Tidak kalah kumur-kumur dari Maia tadi. Semoga saja server-nya cocok.
Maia mencubit pinggangnya keras.
"AAAH! AMPUN, MBAK!"
Maia pun memundurkan tubuhnya, dan membuat jarak. Wajahnya diangkat sedikit demi sedikit, sedetik rasanya setahun. Rahmat meringis karena ekspresi Maia.
"Kenapa nggak dipeluk balik?? Emang ketahuan aku belum mandi? Hah??" sentaknya.
Rahmat membelalak. Kalau boleh bersumpah, ia sama sekali tidak menduganya, karena rambut Maia bahkan masih sewangi kembang Dahlia. "Bukan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Elevate
ChickLit#Wattys2021 Winner ㅡ Chicklit | Chicklit - Romance Comedy | This work was added to @WattpadChicklitID Reading List April 2021 Lift my life, help me out! Live my life, leave me out! Mengapa Maia menolak perjodohan yang diatur seapik mungkin oleh ayah...