31. Masih Ada Sayang

327 80 24
                                    

Tuhan, aku harap semua ini hanya sebatas mimpi buruk.

Seakan terlahir kembali, Park Jisung bagai bayi polos yang hanya dapat mengekspresikan raut datarnya. Yang tertinggal di jiwa maupun raganya hanya sebatas kalimat itu. Binar hangat yang akan selalu berpendar menyapa setiap lawan bicaranya, kini redup sepenuhnya. Lebih suram dari seorang peramal, pembawaan Jisung seolah berubah. Tangan dan kaki yang 3 hari lalu aktif memberi gencaran pukul untuk Choi Hyungseo, kini lunglai. Lebih tebal dari panda, kantung mata itu segelap masa depannya sekarang. Segaris senyum? Bahkan Jaehyun menyerah untuk berusaha membuat seulas senyum itu kembali menghias wajah imut Jisung.

Galbitang, malatang, atau bahkan samgyeopsal sekalipun, semua itu ditolak mentah-mentah. Meski porsinya sepenuh bak mandi bersama kuah kaldu mengkilap dan asapnya yang membumbung tinggi, menggoda lidah untuk kalap menyantap, Jisung masih tak lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan ketika layar kaca mereka menampilkan acara lawak paling terkenal di Korea Selatan, Jisung masih sama sekali tak berkutik. Lantas ketika Jaehyun menoleh, ketika itu pula dia sadar seberapa dalam Jisung telah terperosok ke dalam jurang keterpurukannya.

Sorot mata kosong itu, lebih mematikan ketimbang tatapan buas si raja hutan. Raga tanpa jiwa itu nyaris menyaingi betapa mengerikannya mayat hidup yang berkeliaran mencari seonggok daging manusia.

Tiap malamnya, Jisung selalu naik ke tempat tidurnya lebih dulu. Menggumamkan sebaris kata bahwa dirinya mulai mengantuk kemudian melenggang tanpa mau mendengarkan sahutan Jaehyun. Mati-matian pemuda Jung itu memperingatkan si kakak untuk mencabut kembali keputusannya. Tapi percuma. Seberapa panjangnya kalimat umpatan itu dirangkai, seberapa lamanya Jaehyun membombardir kakaknya untuk merubah keputusannya, seberapa banyak mulutnya berbuih pun, Jaeyol masih tetap pada keputusannya.

Jaehyun tak akan pernah mau memohon. Bersimpuh atau sekedar membungkukkan tubuhnya dalam-dalam supaya Jaeyol mengubah hukuman yang akan segera dijatuhkan untuk Park Jisung. Bukan karena keegoisan yang menguasai. Hanya saja, makhluk tak tahu diri yang hanya punya kapasitas otak sebesar 1% itu tak patut untuk dijadikan objek permohonan. Terlebih, Jisung bukan orang yang sepenuhnya bersalah pada kasus ini. Dia bukan satu-satunya seseorang yang kini dijatuhi julukan sebagai pelaku.

Tuhan tak pernah menguji hamba-Nya di luar kemampuannya.

Jaehyun tahu pepatah itu. Tapi keadaan Jisung lebih mengenaskan dari korban tsunami dimana tempat tinggal mereka luluh lantak sepenuhnya. Semua masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Pada kasus terberat Jisung, Jaehyun melihat adanya dua opsi; pergi menuruti perintah Jaeyol atas hukuman itu dan membiarkan Jisung mati kesepian di dalam pusat tahanan remaja, atau kabur bersama ke tempat jauh.

Bagi Jaehyun sendiri, opsi kedua lebih baik untuk dilakukan. Menjauh dari Jung-gu, mengukir skenario hidup yang baru bersama Jisung dan terbebas dari ketidakadilan yang pernah membelenggu. Hanya Park Jisung dan dirinya sendiri. Tapi ketika otaknya kembali bekerja menimang-nimang keputusan itu, keyakinannya mulai goyah. Jisung masih punya seorang ibu. Meski sosoknya menghilang entah kemana—mungkin saja masih bernafas atau malah kehilangan nafasnya—tapi Jaehyun tak akan pernah turun tangan untuk memisahkan sang ibu dari darah dagingnya.

Maka, dengan hati yang amat sangat berat, di hari keempat ini, Jisung akan segera dinyatakan sebagai tahanan remaja. Kakinya tak akan lagi menapaki lantai berdebu di unit apartemennya. Takdir sudah digariskan. Yang menanti Jisung selanjutnya, bisa jadi sebuah lembar baru yang penuh dengan coretan warna-warni atau justru sebuah jembatan keputus-asaan yang semakin rentan rapuh setiap kakinya melangkah.

"Park Jisung."

Jaehyun mematung. Membiarkan satu-satunya orang yang paling ia lindungi selama ini, dipeluk oleh kakak brengseknya sendiri. Entah sekedar akting untuk membangkitkan suasana sendu atau memang benar, Jaeyol seakan turut merasakan sedihnya hati Jisung hari ini. Telapak tangannya lembut mengusap punggung anak muridnya. Pelukan itu hangat namun menyesakkan bagi Jisung.

ATTENTION ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang