"Gue pergi dulu Dar, lukanya jangan lupa dikasih obat." Bagas mengelus puncak kepala Dara sebelum pergi.
"Duluan ya." Bagas mengenakan helmnya, lalu pergi melajukan motornya dari minimarket itu.
"Ngapa tuh?" Dara tak menyadari bahwa dirinya sendiri lah yang bersikap seperti itu lebih dahulu, bukan Bagas.
***
Dara baru membuka ponselnya. Rasa lelah menyelimuti gadis itu. Dua pesan datang, dari nomor yang tak dikenalnya.
Dara, ini Bagas
Obatnya udah dipakai belum?Dara hanya membaca pesan dari Bagas, dia tak ingin kedekatannya dengan Bagas terlalu jauh. Di SMA 89 bukan satu dua orang yang menyukai Bagas. Banyak, ada banyak perempuan yang menyukai Bagas. Laki-laki itu sudah terlalu dekat dengannya. Bahkan sejak siang tadi sudah beberapa gadis yang menyerbu akun media sosial Dara, memperingati agar menjauh dari Bagas.
"Pa.." Dara mengangkat tubuh ayahnya ke sofa. Sudah menjadi tugas Dara untuk hal ini, paling-paling ayahnya habis mabuk di pinggir kali belangga, belakang rusun.
Hari-hari Dara mulai sepi tanpa Bagas. Gadis itu sudah satu minggu mendiamkan Bagas, begitu juga sebaliknya. Dara selalu pergi ke perpustakaan dengan Arsa, tanpa memikirkan Bagas yang dulu selalu ada dengannya. Jangankan Geri dan Aduy, Ica saja merasakan bahwa Bagas dan Dara tak pernah berbicara bahkan mengobrol lagi selama seminggu ini. Saat ditanya kenapa, Keduanya memakai alasan "Bukannya normal ya?" Kalimat itu seakan menjadi tameng keduanya.
Dara mulai merasa kesepian itu datang lagi, rasa sepi yang Dara alami selama bersekolah di SMA Kejora.
Bagas berdiri dari tempat duduknya, "Dar pinje-" Bagas lupa dengan tujuannya, dia pindah ke meja Safira, "Saf, pinjem bolpen."
Dara melihat dari tempatnya, Bagas seperti ingin membuat jarak diantara mereka berdua. Dari jam pertama hingga bel pulang sekolah berbunyi, Dara dan Bagas sama sekali tak ada interaksi.
Kini hujan deras kembali mengguyur kota Bandung. Dara mengeluarkan payungnya, gadis itu berjalan keluar melewati gerbang sekolah dan menunggu angkot hingga datang. Ada Bagas yang memerhatikan Dara dari warkop di ujung gang, memerhatikan Dara yang tak kunjung mendapat angkot.
Dara mengulurkan tangannya, satu angkot berhenti didepannya. Belum dua menit, para siswa kelas 12 sudah lebih dulu menguasai angkot tersebut. "Yah.." keluh Dara ketika angkot itu melaju pergi meninggalkannya.
Bagas memerhatikan Dara yang masih menunggu di halte. Hujan deras masih belum berhenti, sedangkan Dara masih setia menunggu di halte itu, "Gue jalan kaki aja deh."
Dara tak membawa jaket miliknya, membuat hawa dingin itu benar-benar menusuk kedalam tubuhnya. Tubuh gadis itu cukup lemas karena dia melewatkan makan siangnya tadi, ah sungguh hari buruk.
"Gue pasti telat kerja ini.." Dara terus berjalan dengan tubuhnya yang lemas, ditambah lagi dengan dinginnya kota Bandung sore ini.
Sejak tadi, motor Bagas mengikuti Dara dari belakang. Bagas ingin mengajaknya untuk naik ke motornya, tapi Bagas tetap kukuh memegang tujuan awalnya.
Hhacim. Beberapa kali Dara bersin selama berjalan.
Pertahanan Bagas roboh, dia tak tega melihat Dara yang seperti itu. "Dar, naik." Bagas memberhentikan motornya didepan Dara.
Dara tak menolaknya, dia memang perlu tebengan Bagas. Jas hujan abu seakan sudah menjadi milik Dara, gadis itu selalu menggunakan jas hujan itu setiap kali diantar pulang Bagas saat hujan. Dara tak banyak bicara, kepalanya menempel di pundak Bagas karena mengantuk. Bagas pun membiarkannya, dia tahu bahwa Dara memang sedang lemah kondisinya.
YOU ARE READING
Surat Untuk Dara
Ficção Adolescente"Jangan ganggu gue, Bagas Adiraja." "Kalau lo punya 100 cara buat ngehindar dari gue. Gue punya 1000 cara buat dapetin hati lo." Dara dan Bagas. Berawal dari pertemuan tak disengaja, hingga saling mengisi bilik-bilik kosong di diri mereka. Saling m...