"Iya Ma, ini aku udah rapi, tinggal berangkat aja." Ucapku pada Mama ditelepon.
"Iya bakal hati-hati kok. Hm, bye Ma." Ucapku menutup panggilan telepon.
Aku menghelan napas berat. Aku akan berangkat untuk makan malam bersama tunanganku.
Sudah sekitar dua bulan kami dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Sebenarnya aku menolak perjodohan ini, dijaman modern ini masih ada perjodohan menyebalkan pikirku saat itu. Tapi kini aku malah jatuh cinta dengan dia. Laki-laki yang dijodohkan denganku itu cukup tampan, kelewatan tampan menurutku, bukan karena itu sebenarnya. Aku bisa menaruh hati padanya, tapi karena sikap dia. Dia adalah laki-laki yang terlihat dingin diluar tapi hangat didalam. Sikap dia yang dingin membuatku penasaran akan dirinya, membuatku ingin mengenal dia lebih dalam dan sikap hangatnya entah dia dapat dari mana aku tidak tahu, aku hanya merasa sangat aman ketika berada didekatnya.
Jujur aku sangat mengetahui bahwa dia juga tidak menyetujui perjodohan ini sejak awal. Aku tahu itu, aku bisa melihat dari matanya saat baru pertama kali bertemu. Tapi dia tidak menunjukkan sikap tidak sukanya pada siapapun. Dia pandai bermain peran. Aku sadar diri, aku tidak secantik mantan-mantannya. Aku juga merasa tidak apa-apa jika tidak dibilang cantik.
Aku kembali menghelan napas berat saat sudah sampai didepan restoran yang hanya bisa digunakan privat. Aku bimbang. Apakah aku harus mundur? Apakah aku harus bertahan?
Aku tahu aku hanya berjuang sendiri disini. Aku tahu perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama," ucapku padanya saat sudah duduk persis dihadapannya yang hanya dibatasi oleh meja bundar.
"Tidak juga, aku juga baru sampai." Ujarnya santai.
"Jae."
"Li."
Panggil kita bersamaan.
"Tidak jadi." Ucap kami bersamaan lagi.
Suasananya menjadi canggung. Aku yang menunduk sambil memainkan kuku-kuku jariku dan dia yang mencoba memperhatikan ke sekeliling ruangan. Hingga makanan yang dipesan datang menghilangkan sedikit rasa canggung. Kami makan tanpa diiringi dengan obrolan, hanya suara dentingan alat makan. Saat sudah makanpun kita belum ada yang membuka suara.
Aku menghelan napas pelan saat kita sudah sampai diparkiran.
"Kau tidak membawa kendaraan?" tanya dia padaku.
Bagaimana mau bawa kendaraan, bisa mengendarai saja tidak jawabku dalam hati. "Tidak, tadi aku naik taxi." Jawabku.
Memang biasanya jika kita bertemu aku selalu diantar oleh Mama atau supir. Tapi kali ini aku sendiri. Mama sedang diluar kota dan supir sedang mengambil cuti pulang kampung.
Dia hanya menganggukkan kepalanya tanda paham. "Aku antar?" ucapnya lebih seperti sebuah pertanyaan.
"Ah, tidak usah." Ujarku membalas pertanyaan atau tawarannya itu.
Dia sedikit menggerutkan dahinya seolah bertanya kenapa?
Aku hanya menggeleng sekali dan mengedikkan bahu sebagai jawaban.
"Aku ingin bicara," kataku sebelum dia membukakan pintu penumpang dimobilnya.
"Apa?" Ucapnya setelah membalikkan tubuhnya lalu menghadap padaku sepenuhnya.
"Tentang..." Lidahku kelu tidak sanggup melajutkan kalimat yang harus aku ucapkan padanya.
"Tentang apa?"
"Em, itu em..." Sungguh aku tidak sanggup. Aku hanya menunduk memainkan kuku jariku tanpa berani menatap matanya.
"Kalau kau hanya ingin membahas perjodohan kita, lupakan." Ucap dia dengan tegas lalu masuk kedalam mobilnya, lalu ia lajukan dengan cepat meninggalkan parkiran restoran dan tentunya meninggalkan aku sendiri.
Aku kembali menghelan napas berat. Sudah berapa kali aku menghelan napas hari ini? Entahlah. Rasanya berat. Aku ingin menangis.
Aku ingin menangis bukan karena ditinggal sendiri tapi karena aku masih bingung dengan perasaanku sendiri dan juga tentang perasaan dia.
Apakah ini semua akhir dari pertahanan kita selama dua bulan ini?
Air mataku menetes keluar membasahi pipi. Udara dingin yang dihasilkan setelah hujan turun tadi memuatku semakin terbawa suasana.
Inikah akhirnya?
E N D.
Indonesia. 20 Juni 2021.
