Hima menghela napas sejenak, ia menatap dari sisi pintu, matanya tak melihat sesuatu yang aneh. Setelah ia yakin, kakinya mulai melangkah, memasuki kelas yang cukup dingin itu. Tubuhnya terhampar udara sejuk, dengan suasana hangat yang bisa ia perhatikan.
Satu kursi menghilang, kursi itu milik Wina, anak yang sempat melukainya beberapa saat lalu. Hati Hima terasa kacau, di satu sisi ia senang bahwa Wina tak ada lagi, di sisi lain ia sangat cemas, takut jika Wina akan mengganggunya di luar sekolah.
"Santai, Ma. Wina dikeluarin dari sekolah. Yah, poin minus-nya juga udah banyak, itu bukan salah lu, kok." Satu gadis dengan rambut bergelombang berbicara. Ia tersenyum manis menatap Hima.
Hima mengangguk pelan, paham akan situasinya. Di depan kursinya, Kira sudah tersenyum lebar, kemudian kepalanya ditenggelamkan di atas meja Hima dan mulai bersenandung kecil. Hima bisa mengerti jika gadis itu sedang senang, meski ia tidak tahu kenapa.
"Lu harusnya kagak bolos dua hari ya, Hima. Terlebih latihan band juga." Kira mengangkat kepalanya, mulai menatap serius sahabatnya itu.
Hima mengalihkan pandangannya, ia tidak suka tatapan dari Kira, baginya itu menjengkelkan. "Saya paham. Setelah ini saya akan datang latihan dan meminta maaf kepada semuanya."
Akira tertawa lepas, membuat seluruh murid menatapnya. "Padahal niat gua bercanda tadi."
Hima menatap Kira jengkel. Bercandaan Kira sungguh jelek menurutnya. Tapi ia hanya bisa pasrah, karena sejak awal juga itu salahnya.
Waktu mulai berlalu, hingga akhirnya waktu pulang berbunyi. Murid-murid berlari keluar kelas layaknya semut. Begitu juga dengan Hima dan Kira. Mereka buru-buru pergi ke studio, takut datang terlambat dan diminta traktiran dari senior mereka.
Untungnya, mereka tidak telat. Di sela napas mereka yang menderu kencang, Simon tertawa keras di depan laptopnya. "Santai aja, mereka orangnya suka telat emang. Kalian kagak perlu takut begitu, oke?" Simon menjulurkan jempolnya dan tersenyum lebar.
Himalaya mengatur pernapasannya sejenak, kemudian mengangguk, ikutan tersenyum lebar seperti Simon. Ia sudah terbiasa dengan mataharinya The Raven seperti Simon. Sangat menenangkan baginya. Terutama untuk Kira.
Kira tidak mampu membendung rasa senangnya saat melihat senyum sejuta watt dari Simon. Terlalu menyilaukan untuk matanya. Hatinya tak bisa henti-hentinya berteriak, ia merasa jika lebih keras lagi, suara jantungnya akan terdengar oleh Simon. Kira sangat senang saat datang ke tempat band dan ada Simon di sana.
"Cepat juga kalian datang."
Arga membuka pintu, disusul Orion di belakangnya. Mereka mengucapkan sapaan, dan mulai mengatur alat musik masing-masing. Para basis dan gitaris mulai mengatur kunci. Sang drummer mulai mengecek alat musik, apakah ada yang rusak atau tidak. Kira berdiri di samping Simon, memperhatikan apa yang dilakukan oleh seniornya.
"Ah, saya minta maaf karena tidak datang latihan dua hari kemarin." Hima bersuara, memecah kesibukan masing-masing.
Semua mata tertuju pada Hima, membuatnya merasa tidak nyaman. Yang ditangkap oleh pikirannya adalah mata yang mengkritik dirinya. Hal itu adalah pemikiran negatif dari dirinya sendiri.
"Santai aja. Kita punya jadwal libur masing-masing, kok. Kemarin rabu, kan, Kira izin buat ga latihan. Jadi anggap aja libur bersama." Arga merespon, membuat Hima kembali tersenyum senang.
"Terima kasih!"
Lima menit mereka memperbaiki alat musik, Arga mulai memukul hi-hat-nya, gitar mulai dipetik, dan bass mulai mengikuti alur sang gitaris. Sejak lagu baru belum selesai, mereka memutuskan untuk menyanyikan lagu lama, melakukan penyesuaian dengan suara milik Hima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himalaya And The Broken Band [Tamat]
Teen Fiction[Belum Revisi] Kehidupan itu tidak mudah. Himalaya, gadis muda yang berusaha bangkit atas masalah yang terus menghampiri dirinya. Ia mengemban semua masalah itu sendirian setelah kakaknya mengalami koma. Tapi, semua itu berujung kesedihan yang semak...