Bab 5

117 25 5
                                    

*Happy Reading*

Dita yang di cekik Abyan berusaha memukul-mukul tangan pria itu yang kini membuatnya kesulitan bernapas. Dita masih tak mengerti kenapa Abyan bisa tiba-tiba marah begini padanya.

"Ab ... yhan ... lephas!" rontanya berusaha lepas.

Namun, Abyan seperti sudah kesetanan dan malah memperkuat cekikannya. Wajah Dita seketika memucat dan megap-megap berusaha mencari udara.

"Ab ... yhan ... tohlong. Akhu ... ghak ... bisha ... naphas! Ab ... yhan!"

Beruntung Abyan tak benar-benar membuat gadis itu mati. Melihat Dita yang lemas dan dan sudah hampir membiru, pria itu pun melepaskan cekikannya. Namun, dengan cara kasar sampai Dita tersungkur ke lantai. Dita pun terbatuk-batuk sambil berusaha mengisi rongga dada dengan udara sebanyak-banyaknya.

"Abyan. Kamu kenapa, sih? Kok kamu tiba-tiba marah gini? Salahku apa?" tanya Dita disela batuknya

Bukannya menjawab, tangan Abyan malah kembali mencengkram dagu Dita dengan kuat dan memaksa wajah gadis itu menghadap padanya.

"Gak usah berbohong lagi, Dita. Aku sudah tahu semuanya. Kamu kan yang memulai kerusuhan tadi pagi?"

Degh!

Jangan bilang kalau Abyan ....

"A-apa maksud kamu Abyan? Aku gak--"

"Diam!" hardik Abyan keras. Membuat Dita seketika menciut ketakutan. "Gak usah pura-pura lagi kamu, Dit! Aku sudah lihat cctv tadi pagi."

Benar dugaan Dita. Abyan ternyata sudah tahu kebenarannya.

"Camkan ini baik-baik, Dit! Lain kali kalau kau masih berani menipuku. Kubuat kau benar-benar tak bisa bernapas lagi selamanya!" Ancam Abyan dingin seraya melempar wajah Dita ke samping.

Dita pun menangis tergugu di tempatnya. Wajah dan tubuhnya sakit sekali akibat ulah Abyan barusan. Namun, hatinya lebih sakit lagi mendapat kemarahan Abyan barusan.

Tak sampai di sana. Abyan juga mengusir Dita dari ruangannya. Tak ingin mendengarkan rengekan dan pembelaan gadis itu. Yang ada, bukannya iba dengan tangis Dita. Abyan malah mendorong kuat Dita hingga tersungkur di depan ruangannya. Membuat Dita malu sekali, karena kejadian itu disaksikan semua mata karyawan Abyan.

"Syukurin! Akhirnya kena karma juga!"

"Makan, tuh!"

"Muka dempulan kek badut aja belagu!"

"Pake sok-sokan nyaingin Mbak Nissa lagi? Ya pasti kalah jauh!"

Nyinyiran dan tawa culas mereka pun segera terbit. Membuat Dita geram dan rasanya ingin sekali menghajar mereka satu-satu. Namun, gadis itu tahu ini bukan hal yang tepat dilakukan. Abyan bisa makin mengamuk jika melihat Dita berulah lagi di kantornya.

Lebih dari itu, bukan mereka yang harus Dita perhitungkan saat ini. Karena dari pada mereka, Nissa lah yang lebih pantas diberikan perhitungan untuk semua rasa sakit dan malu ini.

"Lihat saja, aku akan membuatmu membayar semuanya."

***
Ponsel berdering tanpa henti. Nissa terus mengabaikan panggilan telepon itu, sebab orang yang menelepon adalah Abyan. Panggilan telepon itu membuat ia merasa agak pusing karena sedari pagi berusaha menahan amarah yang nyaris membuatnya meledak.

Sejenak ia menghentikan kesibukannya dan melirik ponsel di atas meja, kemudian mendengkus seraya memutar bola mata, berusaha melupakan sejenak kekesalannya pada manusia menyebalkan itu.

"Mau apa lagi dia nelepon, sih? Mau minta maaf? Mustahil dia mau minta maaf setelah menampar dan mempermalukan aku kayak gitu." Nissa mendengkus, dia enggan untuk mengangkat telepon dari Abyan. Lelaki itu pasti mau mengajaknya ribut lagi seperti yang sudah-sudah.

Seharusnya jika ingin meminta maaf, pria itu datang menemuinya. Sayangnya, mana mungkin hal itu terjadi. Abyan terlalu egois. Dia tidak pernah mau disalahkan. Jadi, Nissa merasa akan sia-sia kalau dia mengangkat telepon dari pria itu, yang ada perang dunia kembali meletus.

"Ck, biarin ajalah. Mau dia nelepon seribu kali pun gak bakal aku angkat. Dasar menyebalkan!" Nisa mengabaikan panggilan telepon itu dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Sementara itu, Abyan uring-uringan karena Nissa tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Padahal ada hal cukup penting yang ingin dia bicarakan dengan gadis itu. Sayangnya, Nissa tidak mau mengangkatnya sama sekali.

Dia sedikit merasa bersalah pada Nissa karena sudah menyakitinya. Itu terjadi begitu saja sebab dia melihat Dita yang kesakitan. Seandainya dia percaya lebih awal pada Nissa, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Ah, pada dasarnya penyesalan memang selalu berada di akhir. Kalau di awal namanya pendaftaran.

"Sialan. Kenapa gadis itu itu tidak mau mengangkat teleponku sama sekali?" omel Abyan, menyilangkan lengan di depan dada sambil memijit pangkal hidung. Batinnya terus menjeritkan rasa marah bercampur rasa bersalah karena kejadian tadi pagi. Padahal Nissa pun sama saja tengah marah padanya.

Abyan mengembuskan napas panjang selagi netranya menyorot pemandangan di luar jendela. Sejujurnya, Abyan bosan melihat suasana di sekitar ruang kerjanya yang sunyi. Nissa marah padanya. Lalu, apa yang harus dia lakukan?

***
Nissa sedang duduk di sofa apartemen milik Naira, dia sendirian malam ini sebab Naira belum juga pulang. Dia ingin sekali bercerita tentang apa yang dialaminya tadi siang. Setiap kali mengingat hal itu rasanya sangat menyebalkan.

"Gak usah diingat-ingat juga. Gak penting banget," kata Nissa, bermonolog sendirian.

Saat Nissa sedang menonton acara berita di televisi. Pintu apartemennya tiba-tiba diketuk. Dia pikir Naira sudah pulang, karena itu dia bergegas untuk pergi ke depan dan membukakan pintu. Namun, Hal yang tak pernah Nissa duga. Dua orang bersetelan hitam lengkap dengan topeng wajah, mereka menenteng sebilah pisau tajam di tangan keduanya.

Ini salahnya. Kenapa dia tak mengintip melalui lubang di depan pintu ketika bell berbunyi? Alhasil, baru saja ia memutar kunci, tubuhnya langsung terdorong beberapa langkah ke belakang sambil mengaduh kesakitan pada perutnya karena benturan pintu yang didobrak dari luar.

"Kalian siapa?!" Nissa bertanya sembari memasang siaga untuk mewanti-wanti jika penyusup itu menyerangnya.

Kedua sosok yang Nissa yakini adalah laki-laki jika dilihat dari postur tubuhnya, hanya tertawa meremehkan. Suara keduanya garang dan terdengar menakutkan. Nissa tidak pernah menghadapi musuh sehingga sempat membuat kedua lututnya terasa lemas.

"Apa yang kalian inginkan, hah?" Nissa mulai geram. Jika mereka maling, kenapa malah diam saja di depan pintu sembari mengawasinya?

"Diam dan ikutlah dengan kami," kata salah satu penjahat itu membuat Nissa terhenyak. Ternyata dia hendak diculik?

"Nggak! Siapa kalian, mau apa kalian ke sini?!"

"Duh, cerewet banget cewek ini. Udah, bawa aja dia sekarang!" titah salah satu penjahat seraya menunjuk Nissa.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Nissa berusaha untuk menghindari serangan dua penjahat tersebut. Dia meminta berseru minta tolong entah pada siapa sambil menangis ketakutan. Tidak tahan mendengar Nissa yang terus menjerit ketakutan. Salah satu penjahat itu pun menyerang Nissa.

Mereka berhasil menyergap Nissa dan membekapnya dengan sapu tangan yang sudah dilumuri obat bius. Nissa masih berusaha melawan dan melepaskan diri. Namun, kuatnya obat bius membuat Nissa cepat lemas dan lalu kehilangan kesadarannya.

"Akhirnya diam juga dia!" desah lega salah satu penculik itu. "Buruan angkut ke mobil!" titahnya kemudian.

Dengan enteng penculik lainnya memikul Nissa yang tak sadarkan diri, membawanya ke luar apartemen dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam mobil. Sementara penculik lainnya mengekori sambil mendial sebuah nomor.

"Misi beres! Target sudah aman ditangan kita!" lapornya entah pada siapa.

Bertahan Dalam Asa Hampa (On Going Di Kbm Dan GoodNovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang