XIII

70 14 0
                                    

Semesta sepertinya tidak sedang berpihak pada Rayadinata hari ini.

Sebelum berangkat ke kampus, gadis bersurai hitam itu dibuat senang karena mendapat kabar dari temannya semasa SMK dulu, Yera Pradana, kalau dia sedang berada di Tanah Air dan berniat untuk bertemu dengan Rayadinata. Suasana hatinya sangat baik sampai jam makan siang tiba.

Kalau bukan demi ayam gongso kesukaannya, Rayadinata sudah pasti akan menghindari Hendrasaka yang saat ini duduk di hadapannya. Kantin yang berlokasi di dekat gedung rektorat itu sedang cukup ramai dipenuhi mahasiswa, termasuk Rayadinata dan Hendrasaka yang saat ini terlihat canggung satu sama lain. Padahal, biasanya mereka akan bercanda atau sibuk berbagi gosip sambil menyantap makanan yang mereka pesan.

"Masih marah?" tanya Hendrasaka setelah Rayadinata menghabiskan makan siangnya.

"Menurutmu?" Rayadinata balik bertanya dengan ketus.

Sebenarnya, Rayadinata bukanlah tipe orang yang bisa mendiamkan teman atau orang terdekat setelah berselisih paham lebih dari 12 jam, tapi entah mengapa ia merasa sangat kesal setelah percakapannya dengan Hendrasaka kemarin.

"Aku mau ngomongin sesuatu yang ada sangkut pautnya sama topik obrolan kita kemarin, Ra. Aku mau buktiin kalau aku sama sekali nggak bohong ataupun usil."

"Kalau cuma mau bahas itu lagi-"

Hendrasaka buru-buru mencengkeram pergelangan tangan Rayadinata yang sudah berniat untuk pergi dari sana. "Duduk dulu, habis ini baru boleh pergi."

Terpaksa ia menuruti ucapan temannya itu, dan Hendrasaka mulai menceritakan kembali percakapannya dengan Tendraditya beberapa jam sebelumnya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rayadinata dengan enggan memasuki rumahnya sendiri, mengabaikan lirikan adiknya dari ruang tengah. Rayadinata merasa sangat letih, sejak sore tadi ia memilih untuk mengabaikan pesan Hendrasaka dan membenamkan dirinya sendiri ke dalam tugas. Bahkan ia membuat persiapan materi untuk kuliah minggu depan, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rayadinata sebelumnya.

Gadis itu berusaha keras untuk menyibukkan diri, tidak mau memikirkan percakapan Hendrasaka dengan DJ Adit tentang segmen After Midnight begitu juga keberadaan DJ Heksa yang misterius. Kalaupun Hendrasaka bisa memberikan bukti kalau ia tidak berbohong soal perkataannya tempo hari lalu, bagaimana ia menjelaskan tentang apa yang didengar Rayadinata selama ini?

"Ra? Nggak mau makan dulu?" Suara ayahnya menghentikan Rayadinata yang sedang berusaha membuka pintu kamarnya sendiri. Memasang ekspresi sewajar mungkin, Rayadinata menoleh dan kini tersenyum lebar pada Julianto.

"Udah makan, Pak. Ini mau mandi terus langsung tidur aja soalnya capek banget, besok juga mau jalan-jalan sama temen."

"Temen?"

"Yera, Pak. Itu, lho, yang sebelum acara kelulusan harus ikut pindah orang tuanya ke Korea."

Julianto mengangguk. "Yang anaknya heboh banget itu kalau lihat penjual lotek, ya?"

"Haha, iya yang itu."

"Ya udah, istirahat aja. Tidur beneran, lho, bukan malah dengerin radio."

Rayadinata tidak sadar kalau Arsadinata dari kejauhan memperhatikan bagaimana senyuman Rayadinata sempat luntur selama beberapa detik ketika Julianto menyebutkan 'radio' kepadanya.

"Enggak, kok."

Saat Rayadinata sedang mandi, Arsadinata mendekati sang ayah kemudian duduk di sampingnya, yang langsung dipahami oleh Julianto kalau putranya itu memiliki maksud tertentu.

"Kenapa, Sa?"

"Bapak beneran pernah denger Mbak Rara dengerin radio?"

"Pernah, kok."

"Denger cerita horornya?"

"Wah, kalau itu Bapak ndak tahu."

"Kok nggak tahu?"

"Soalnya Bapak nggak pernah denger apa yang sebenernya didenger sama mbakmu."

"Maksudnya?"

Julianto meletakkan sendok dan garpunya kemudian menghela napas. "Bapak itu denger suara kaya radio nggak dapet gelombang siaran gitu, lho, dari kamarnya Rara. Jadi Bapak aslinya cuma denger suara kresek-kresek gitu. Tapi mbakmu bilang kalau dia emang lagi dengerin siaran di radio, jadi mungkin telinganya Bapak aja yang nggak begitu denger suara penyiarnya."





Selepas membersihkan diri, Rayadinata pun tertidur, kabur sejenak dari urusan duniawi yang terlalu memusingkan baginya.

Jam di meja belajar sudah menunjukkan pukul 23:59 ketika satu-satunya perempuan di kediaman Julianto Sudjatmiko itu terbangun dari tidurnya. Tangannya terulur perlahan; bak tersihir ia menghidupkan radionya yang langsung menemukan saluran Neo Radio.

Pukul 00:01, suara yang menyenangkan itu kembali terdengar. Kali ini, entah mengapa, terdengar lebih riang daripada sebelumnya.

"Malam, penduduk Bumi! Heksa Kesuma si ganteng dari Bantul udah balik!"

Perkenalan itu langsung disambung dengan cekikikan si penyiar.

"Malem ini, gue udah nemu cerita yang pas buat lo semua. Cerita yang gue jamin bisa bikin lo terjaga, nggak ngantuk-ngantuk lagi. Terima kasih buat Tora karena udah berani sharing ceritanya di sini!"

Hening sesaat, sebelum DJ Heksa berbisik,

"Tora aja berani sharing, kalau lo, berani dengerin nggak?"

After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang