ーCrimson; anger

51 3 0
                                    

🐟
.
.
.

Napasku naik turun dengan cepat, tanganku dingin dan keringat mengucur deras dari pelipisku, sepertinya asmaku kambuh lagi. Semua yang terjadi begitu cepat hingga aku tak mampu berpikir jernih. Apalagi dengan apa yang ada di hadapan kami. Akatsuki ternyata adalah master mind atas penculikan terhadap distrik 13. Ah, bukan Akatsuki namun Madarame, sosokーkatakan saja kepribadian lain (walau masih belum jelas)ーdari Akatsuki.

Di sampingku, yang lain hanya bisa terkejut, sedangkan Kaikoku menggeram marah, terutama Anya. Tentu saja, pemuda yang selalu membentak siapapun itulah yang paling shock. Anya adalah orang yang paling dekat dengan Akatsuki.

"I-Iride-san ..." Himiko mencoba mendekat, bersama dengan Punitsuki. Ia menahan tangis. Namun, Madarame sama sekali tak merasa iba, pemuda tersebut malah menodongkan senapan ke arahnya sembari memasang wajah dingin, "sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan."

Marah, Punitsuki menyerang Madarame. Slime dengan wajah Akatsuki itu menggigit lengan baju milik Madarame. Entah mengapa, melihat wajah marah slime tersebut, Madarame sontak menarik pelatuk ke arah Punitsuki.

"Ti-tidak, Punitsuki!" isak Himiko.

Aku menggeram, sangat marah akibat tindakannya. Sebelum kami semua hendak berlari ke arah Himiko dan Madarame, pemuda itu kembali menodongkan senapannya. Mau tak mau, kami semua harus berdiam diri di tempat untuk sekian kalinya.

Tetapi, Anya tak tahan lagi. Tangannya mengepal hebat, iris merah tersebut membulat penuh amarah, "apa kau bercanda? Kau penuh omong kosong."

Dengan cepat, ia berlari, menarik kerah Madarame.

"Bukan kau! Kembalikan Akatsuki!"

"Itu sakit, Anya-kun," ujar Madarame pelan. Sejenak, terlihat seperti Akatsuki karena berbicara dengan sopan. Hanya saja, semua harapan itu buyar ketika wajah putih itu menampilkan seringai, "... kita teman dan tak akan bertengkar lagi, kan?"

Refleks, Anya hampir saja memukul Madarame. Kalau saja bukan dihalang oleh Paca. Kesal, aku ikut beranjak ke sana kemudian memukulnya, lalu menarik lengan baju milik Madarame dengan kasar.

"Kumiko! Janganー" seruan Kaikoku tak terdengar lagi di telingaku.

"Hentikan semua ini, Iride-kun!" bentakku masih dengan menggenggam erat bajunya. Aku tak ingin menangis, karena memang tengah dipenuhi oleh kemarahan. Bagaimana bisa ia bersikap seperti itu pada Himiko dan Anya?

Madarame mengulas senyum saat melihatku penuh amarah. Ia melirik ke arah lain, membuatku ikut mengalihkan perhatian ke arah yang ia tuju. Irisku membulat, tampak helaian rambut dan manik merah yang khas. Sosok itu tengah bersembunyi di balik peralatan ruangan yang lain. Tanganku membeku seketika, tak mampu bergerak.

"N-Naoto?" gumamku kebingungan.

Tanpa aba-aba, Madarame menyuntik perutku dan perut Anya dengan obat bius. Kami berdua terjatuh seraya mengerang kesakitan. Samar-samar, aku bisa mendengar Kaikoku dan Zakuro yang mulai melawan Paca serta Madarame. Yuzu hanya diam, menonton dengan ekspresi khawatir.

Kenapa semuanya jadi seperti ini?

Di akhir, aku tak yakin siapa yang membawaku ke luar dari ruangan dan menuju eskalator. Yang jelas, aku tidak ingin akhiran seperti ini untuk distrik 13.

.
.

"Kau sudah bangun?"

Sebuah suara familiar masuk ke indra pendengaranku, dan itu adalah suara Kaikoku. Ekspresinya datar, mungkin masih fokus memikirkan semua yang baru saja terjadi hari ini. Aku bangkit dan sontak saja memegang perutku.

"Apa masih sakit?" tanya Kaikoku khawatir. Gelengan pelan kuberikan sebagai jawaban tidak.

Iris biruku pun kemudian melihat ke arah sekitar, kami berada di Underground. Sakura dan yang lain mengobati Anya. Bahkan tak disangka, ada kakak Anya dan Karin juga datang kemari demi menolong adik mereka yang tengah diculik.

"Maaf," gumamku pada Kaikoku. Ia hanya membalasnya dengan helaan napas kecil lalu mengambil tempat untuk duduk tepat di sebelahku. Pemuda itu membalas, "untuk apa? Toh, anak itu tadi pantas mendapat pukulan darimu."

Aku tak bisa mengulas senyum sama sekali, masih merasa cemas juga marah. Tentu saja, ia pasti adalah salah satu orang yang merasa marah atau mungkin saja kecewa akan tindakan Madarame tadi. Kepalaku menunduk, lalu aku memanggilnya, "Onigasaki-san."

"Hm?"

"Sepertinya Naoto juga salah satu dari pihak Paca-san."

"Lalu?"

Sebal karena ia berpura-pura bodoh, aku mendelik padanya, "kau tidak curiga padaku atau apa begitu? Jangan sok bodoh, Onigasaki-san."

"Haha, tentu saja tidak. Untuk ukuran orang yang ingin masuk ke dalam white room yang sama denganku, mana mungkin," balas Kaikoku seraya terkekeh. Melihat senyumnya, entah mengapa aku merasa malu sendiri. Dengan cepat, aku kembali memalingkan wajahku, tak mencoba menatapnya.

"Onigasaki-san aneh! Kadang warna hitam, kadang merah."

Aku menggerutu untuk menghilangkan rasa malu yang menghinggap. Alisnya tertaut, melemparkan tatapan kebingungan. Sontak saja, ia mengacak helaian rambut biru muda milikku.

"Memangnya kau pikir karena siapa aku begini, huh?" tanya Kaikoku. Ia mengulas senyum pasrah sembari menarik tanganku untuk berjalan ke luar dari ruangan, "ayo. Di sini banyak orang yang perlu istirahat. Kita perlu mencari petunjuk lebih banyak meskipun sudah diusir oleh Alpaca sialan dan Iride yang satunya itu."

Mendengar ucapannya, aku hanya bisa tertawa riang. Walaupun merasa marah, pemuda itu tetap bisa berpikir untuk ke depannya dan menghiburku. Yah, begitulah ia.

Benar, kami harus mencari tahu kebenaran akan pulau ini. Dan ketika berada di sini, kami bertemu, bermasalah, bertengkar, perpisahan, dan mendapatkan perasaan yang lain.

Kami berdua sama-sama bersyukur telah dipertemukan satu sama lain.

.
.
.
🐟
[END]

Coloruary ⇢Onigasaki Kaikoku × OC [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang