Lima Puluh Dua

42 13 3
                                    

52.

BRAK!

Mahera datang dengan deru napas mengebu. Ia berjalan menuju meja dan mengebrak meja dengan kencang. Suara gebrakan meja itu membuat semua pengunjung yang berada di Kafe otomatis menoleh ke arah mereka.

Keenam teman Mahera yang saat itu asik mabar terlonjak kaget. Bahkan ponsel yang mereka pegang hampir dilempar lantaran suara gebrakkan meja oleh Mahera.

"Apaan sih?! Lo mau buat gua jantungan?!" protes Renu.

"Siapa di antara kalian yang udah menjarain Arhan?!" pekik Mahera seraya menatap nanar satu per satu teman-temannya. Mereka tertegun dan meneguk saliva.

"Siapa? Jawab!"

"Mendadak bisu lo semua?!" Mahera melipat kedua tangan di depan dada.

"Lo ya?" Mahera menunjuk pada Afat. Lantaran cowok itu yang paling terlihat kikuk dan kebingungan.

Afat menatap Mahera tanpa mengatakan apa pun. Mahera mengembuskan napas kesal. Kemudian tatapannya beralih pada Davindra, mungkin saja cowok itu bisa menjelaskan. Namun, yang didapat Mahera sama saja. Tak ada jawaban. Mahera membuang pandangan. Ia tersenyum tipis.

"Kalo kalian gak ada yang mau ngasih tau gua. Biar gua yang cari tau sendiri!" Mahera mengambil jaketnya kemudian membalikkan badan meninggalkan teman-temannya.

***

Mahera melepaskan helm bogo yang ia kenakan usai memarkirkan motor di parkiran sekolah. Kedua bola mata Mahera langsung terfokus pada seorang cewek yang baru saja datang dengan tas backpack berwarna kuning yang cukup terlihat mencolok mata dari tas siswi lain.

Buru-buru Mahera mencabut kunci motornya memasukkannya ke dalam saku celana. Berlari mengejar cewek bertas backpack berwarna kuning itu.

"Gua mau ngomong sama lo," cetus Mahera. Ia mencekal tangan cewek itu. Cewek itu pun menoleh tatapan mereka bertemu.

"Ngomong apa?"

"Ikut gua, Key."

Keyva—cewek yang Mahera maksud. Mahera menarik tangan Keyva. Keyva mengikuti langkah Mahera. Mereka berjalan menuju gedung belakang sekolah yang dipastikan sepi dan tidak ada orang lain.

Ketika sudah sampai, Mahera menaruh kedua tangan di atas bahu Keyva. Mereka saling berhadapan.

"Lo mau ngomong apa sama gua?" tanya Keyva yang sejak tadi menunggu Mahera untuk berucap, namun cowok itu malah terdiam.

"E—eh..."

"Gua mau nanya sama lo. Lo itu ..." Perkataan Mahera terhenti lantaran ia bingung harus bertanya bagaimana. Sedangkan Keyva mengernyit melihat Mahera.

"Lo itu, adiknya Arhan?"

Detak jantung Keyva terasa berhenti. Ia menelan ludah—tercekat.

"Benerkan? lo adiknya Arhan?" Keyva mengigit bibir bawahnya.

"Ta—tau dari mana lo?" Sebisa mungkin Keyva menatap Mahera dan berusaha untuk tenang.

"Jadi benar?" ucap Mahera. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Keyva. Menyelipkan anak rambut Keyva di telinganya.

"Jawab pertanyaan gua, Key."

Keyva terlihat menghela napas. Mahera menjauh dari Keyva berjalan perlahan untuk menatap langit. Mahera terdiam cukup sebelum akhirnya kembali berujar.

"Kalo benar Arhan abang lo. Gua bakal bantu dia keluar dari penjara."

Setelah beberapa menit mencerna ucapan Mahera. Keyva berjalan menghampiri Mahera.

"Lo beneran mau bantu?" tanya Keyva memastikan.

"Iya. Gua bakal bantu dia. Jadi, lo bener adiknya Arhan?" Kali ini Mahera yang bertanya pada Keyva.  Jika benar ia adiknya Arhan.

"Iya..."

"Iya Arhan abang gua."

"Lo beneran mau bantu, kan? Bantu dia keluar dari penjara?"

"Lo gak bohong, kan?"

Sederet kalimat pertanyaan itu langsung keluar dari mulut Keyva.
Membuat Mahera menatap Keyva tidak percaya. Mahera tahu jika Keyva dari keluarga broken home. Mahera juga tahu kalau empat bulan setelah kedua orang tua Keyva berpisah—mama Keyva pergi untuk selamanya. Ayahnya pun menikah lagi. Dan meninggalkan Keyva bersama kakaknya begitu saja meskipun Ayahnya masih mau memberi nafkah. Namun, Mahera tidak tahu, jika kakak laki-laki Keyva itu adalah Arhan. Musuh bebuyutannya. Semesta memang selalu susah ditebak dan membuat siapa pun terkejut.

"Lo beneran mau bantu gua kan, Maher?"

Tiba-tiba Keyva menangis. Air mata Keyva jatuh begitu saja. Seolah ada beban yang sangat berat yang selama ini ia pikul sendirian. Cewek yang terkadang terlihat menyebalkan dan ratu bully itu kini terlihat rapuh. Mahera yang tidak tega melihat Keyva lantas merangkul bahu Keyva. Membuat Keyva untuk berhenti menangis.

Keyva yang menyadari jika Mahera merangkulnya justru semakin terisak. Kedua tangannya pun tak henti mengusap air mata yang jatuh di kedua pipinya. Ternyata semesta masih berbaik hati padanya menghadirkan seseorang yang masih peduli terhadapnya yang bahkan Ayahnya sama sekali tidak peduli dan tidak mau tahu tentang keadaan kakaknya—Arhan.

"Iya gua bakal bantu abang lo keluar dari penjara. Lo jangan takut, ada gua."

Ucapan yang keluar dari mulut Mahera sukses membuat Keyva semakin terisak. Dengan refleks Keyva memeluk tubuh Mahera erat. Tangisan Keyva pecah dalam dada bidang Mahera. Mahera yang merasa cangung pada akhirnya hanya bisa membiarkan Keyva menangis sepuasnya dalam dekapnya. Perlahan Mahera mengusap rambut Keyva agar ia merasa tenang.

***

Renu menopang dagu dengan tangan kanan. Pikiran dibuat berputar-putar akibat tidak sengaja memergoki Mahera dengan Keyva. Ia pun kemudian menghabiskan satu siomay yang ia beli. Menarik-narik bumbu-bumbu yang berada diplastik soimay yang ia beli agar bersatu dengan satu siomay yang tersisa. Tentunya masih melamun dengan pikiran mengapa Mahera bersama Keyva dan Keyva memeluk Mahera?

"Ea..."

"Aku suka siomay-nya hingga siomay terakhir. Aku suka bumbunya hingga bumbu terakhir. Siomay Kang ujang nikmat hingga tetes terakhir..."

"Siomay Kang ujang nikmat ... Hingga tetes terakhir," cetus Sambara sambil tertawa geli melihat Renu yang sangat menikmati siomay yang ia makan sampai-sampai bumbu diplastik juga benar-benar habis tak tersisa dan ia pun membuang bungkus siomay tersebut di bawa bangku.

"SIALAN LO!" tutur Renu kesal, namun dengan wajah tertawa lepas. Menyadari dirinya direkam diam-diam oleh Sambara.

"Hahahaha..."

"Lucu banget lo sumpah!"

"Galau bang?!" cibir Sambara. Yang diikuti tawa mengelegar dari teman-temannya yang ternyata juga diam-diam memperhatikan Renu yang melamun.

"Woy! Liat deh muka si kunyuk ini! Lucu banget!" ucap Sambara sambil memperlihatkan hasil rekamannya kepada teman-temannya.

"Woy ah!" Renu berusaha mengambil ponsel Sambara.

"Galau nih? Galau?" ejek Agasa.

"Mana ada galau!" seru Renu. Ia langsung mengambil ponsel Sambara, ia juga ingin melihat video hasil rekamannya di ponsel Sambara.

"Halah boong kali!" sindir Afat.

"Cakep juga gua di video ini..." tukas Renu yang ke-pedean.

"Hah? Apa? Mana ada gua galau. Noh yang dipojokan tuh. Lagi galau," jelas Renu. Pandangan mata Renu menuju ke arah Mahera. Yang sejak tadi tidak ikut bergabung, ia sibuk menatap ponselnya.

"Woy. Diem-diem bae sini ngapa sini, maen," cetus Afat pada Mahera.

Mahera pun terdiam melihat ke arah Afat. Bukannya ikut bercengrama dengan teman-temannya ia malah memasukkan ponsel ke dalam saku baju. Dan berdiri tempat duduknya kemudian pergi begitu saja.

"Lah, ngapa tuh bocah?" tanya Afat heran.

"Pms kali," jawab Sambara asal.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang