Ruang Dekan begitu lengang, tak ada siapa pun selain dua orang yang kini tengah berhadapan, berbincang empat mata.
"Untuk yang terakhir kalinya, aku memohon padamu, Nona Misaki Rai." Seorang pria dengan seragam lengkap dan berkacamata memandang serius mahasiswi di hadapannya. "Berhentilah memprovokasi mahasiswi lain agar ikut dalam keributan yang kau ciptakan."
"Aku tidak menciptakan keributan atau memprovokasi, Isao-san." Gadis itu menolak kontak mata dengan dekannya dan lebih memilih memakukan pandangannya pada permukaan meja kayu yang berkilap. "Aku hanya membantu teman-temanku, sesama perempuan, yang telah mengalami pelecehan di kampus ini yang sama sekali tak dihiraukan oleh kalian."
"Itu bukanlah urusanmu-"
"Itu urusanku!" balas Rai, menyela Isao. "Aku benar-benar muak dengan diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi di sini. Aku hanya mencoba mengemukakan pendapatku dan memberi kekuatan pada mahasiswi lainnya agar mereka juga berani melakukannya karena itu hak mereka!"
"Kau telah membuat nama universitas ini menjadi buruk, harusnya kau berhati-hati." Isao menghela napas, geram. "Pikirkan orang tuamu, mereka ada di desa, bekerja keras, mereka telah membiayaimu dengan susah payah hingga kau bisa berada di sini."
"Ini tidak ada hubungannya dengan orang tuaku, ini tentang mahasiswi yang belajar di kampus ini." Rai seolah tak ingin kalah begitu saja.
"Sesegera mungkin ini akan ada hubungannya dengan orang tuamu dan kau akan menyesal." Isao menatap Rai tajam. "Kau terancam untuk di-drop out."
Rai mengangkat wajahnya seketika, membalas tajamnya tatapan sang dekan. Namun, ia tak takut. Rai tak akan begitu saja lemah karena ancaman Isao sebab Rai sudah terlalu marah dan kecewa pada universitas tempatnya menempuh pendidikan kedokteran ini.
Isao berdeham lalu kembali bersandar di kursinya, masih tampak gusar.
"Kau boleh kembali ke kelasmu," lanjutnya.
Rai beranjak dari tempat duduknya dan bersiap melangkah pergi sebelum akhirnya Isao memanggilnya sekali lagi, menghentikan langkahnya.
"Kuharap kau memikirkan apa yang baru saja kita bicarakan, Nona Misaki."
Ruang kelas yang dihadiri Rai siang itu tetap terasa senyap meski semua mahasiswa hadir. Tak ada keributan sama sekali. Seperti biasa Rai hanya akan duduk di bangkunya tanpa bicara atau menyapa siapa pun.
Bukan karena ia sombong atau tak punya teman, tetapi di masa ketika kini ia telah menginjak semester tujuh, semakin banyak saja mahasiswa—laki-laki—yang tidak menyukainya. Bukan tanpa alasan, kevokalan Rai dalam menyuarakan pendapatnya yang berhubungan dengan kesetaraan gender membuat kebanyakan orang di kampusnya merasa tidak nyaman. Menurut mereka, perempuan yang berada di posisi yang benar-benar setara dengan laki-laki adalah sesuatu yang aneh dan tidak sesuai dengan apa yang lazim terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
Bahkan di jurusan Rai—kedokteran—hanya ada sedikit sekali mahasiswi. Setiap tahun, kampusnya seolah begitu jelas membatasi setiap perempuan yang ingin mendaftar ke jurusan itu. Alhasil, di kelas Rai kini hanya ada dua perempuan, dirinya dan salah satu temannya, Iku, yang juga ikut aktif bersama Rai dalam menyuarakan pendapat mereka.
Rai melakukannya dengan banyak cara. Mulai dari melalui ekskul majalah dan jurnalisme, ekskul puisi, dan sebagainya. Saat ada berita mengenai isu-isu tentang perempuan dari luar negeri, ia juga akan langsung mendiskusikannya bersama teman-temannya.
Ia juga membentuk ひまわりの家 (Himawarinoie yang berarti Sunflower Home), sebuah komunitas kecil yang berisi kegiatan untuk mendukung para perempuan dari dalam atau luar kampusnya yang tengah mengalami masalah dan membutuhkan dukungan moral, material, bahkan hukum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Drug Dealer (TAMAT)
Romance"Love is a drug, and you ... are the dealer." -Rai Misaki- --- Setelah di-drop out dari kampusnya akibat aktivisme feminis yang ia lakukan, Rai Misaki meninggalkan Jepang dan menjalani hidupnya sebagai imigran gelap di Inggris dengan menjadi pengeda...