7. BerEnam

96 18 15
                                    

Flashback on.

Jino terkekeh masam. "Terkadang dunia sebecanda itu."

"Gue pengen pergi, Jin," ujar Aldi. 

Jino menatap Aldi di sebelahnya.

"Pergi kemana?!" ucap Jino meninggi.

"Jauh."

"Sampai nggak ada yang bisa nemuin gue," ucap Aldi pasrah. 

Ia menunduk berkata pelan, "termasuk Delisa."

Hening. Jino masih mencerna kata-kata yang diucapkan Aldi.

"Pergi aja." 

Aldi menoleh ke arah Jino.

"Yang jauh. Biar lo tau, sehancur apapun perasaan lo. Dunia juga bakal berjalan dengan semestinya."

"Dunia. Orang-orang. Mereka juga nggak bakal ikut sedih kalo perasaan lo hancur."

"Mereka gak peduli."

"Jadi, sejauh apapun lo kabur. Kalo hati lo luka, disembuhin. Jangan dibawa pergi."

Aldi menunduk. Membiarkan hatinya tertampar oleh perkataan Jino.

"Gue harus gimana."

"Damai sama diri lo sendiri," balas Jino.

"Gue nggak bisa, kalo gue tetep berada di bayang-bayang Delisa. Gue nggak sanggup," ujar Aldi.

"Gue tau. Lo bisa aja cari pelarian, tapi lo nggak bisa kabur," kata Jino. 

"Mau pindah ke sekolah gue?" Jino menawarkan.

Flashback off.

Aldi, Jino, Memet, Abet, Wendi dan Dewa. Mereka sedang berada di warung kopi langganan mereka di dekat SMA Arjuna 1.

Mereka berenam sudah berteman sejak duduk di bangku SMP. Walaupun sekarang mereka berbeda sekolah, tapi mereka masih berteman dan berkumpul seperti biasa.

Jino, Memet, dan Abet bersekolah di SMA Rajawali. Sedangkan Aldi, Wendi, dan Dewa. bersekolah di SMA Arjuna 1.

"Gimana Al? Lo mulai berangkat sekolah besok?" tanya Wendi di samping Aldi. Aldi mengangguk.

"Kita semua juga temennya Delisa. Gue masih berharap kalo ini mimpi," imbuh Wendi.

"Gue cuma berharap, lo bener-bener bisa nerima kenyataan, Al," lanjut Dewa.

"Maksud lo, gue sekarang gak bisa nerima kenyataan gitu?" Aldi berdiri menatap tajam Dewa di depannya.

"Maksud Dewa nggak gitu, Al." Jino menenangkan dan mendorongnya untuk duduk di kursi panjang lagi. 

Aldi masih menatap jalang Dewa.

"Gue nggak bermaksud gitu, Al. Sorry," ucap Dewa tulus.

Aldi mengalihkan pandangannya. Ia mengambil jaket dan kunci motor di sampingnya. Tanpa sepatah kata, ia langsung keluar warung dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Hening. Teman-temannya saling tatap menatap.

"Dia jadi lebih emosional akhir-akhir ini," ujar Memet. 

Disaat seperti ini, Memet yang biasanya pecicilan dan selalu mengeluarkan lawakan garing itu, mengerti keadaan.

Aldi adalah tipe cowok yang ramah kepada semua orang. Sebagai wakil ketua OSIS, ia dituntut untuk murah senyum, tegas, dan berwibawa. Dan itu juga sudah menjadi karakter dari Aldi sendiri.

"Kau juga, jangan asal cakap kau," kata Abet kepada Dewa di sampingnya, dengan logat Medan andalannya.

"Sorry," jawab Dewa.

"Bukan salah Dewa'lah. Salah si-"

"Salah siapa? Kau mau salahkan Aldi? Ha?!" Abet memotong perkataan Memet.

"Udahh!! Nggak usah salah-salahan lagi. Gak ada yang salah dan gak ada yang bener." Jino berkata tegas.

"Kehilangan orang yang gak mungkin bisa balik lagi itu gak gampang. Kita juga harus maklumin Aldi. Kasian dia, pasti lagi terpukul banget," ucap Wendi.

Abet dan Memet itu memang satu paket. Mereka bukan kembar, hanya nama mereka yang sebelas duabelas. Waktu nempel nggak bisa dipisahin, tapi kalau beda pendapat juga nggak bisa disatuin.


☀️TO BE CONTINUED☀️

464 kata.

Garing ya? Kalo gitu, gue saranin, baca part selanjutnya aja deh.

Ketemuan yuu,
IG: @sheseesyi
Emang gada apa-apanya sih, tapi.. ya gada tapinya. Kalo mo follow ya follow aja, ga maksa. Pokoknya follow!!

Vote!!
Komen!!
Share!!!
MAKSAAA!!

SEE YOU NEXT PART!!!

NOT SHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang