4

8 0 0
                                    


Sean itu mirip dengan Veestel; selalu setia dengan satu gaya konstan, namun berubah sedikit pada tone warna. Jika Veestel punya lusinan baju lengan pendek putih, dan berkodi - kodi rok di bawah lutut pink muda hingga tua, Sean selalu mengenakan tutle neck hitam ataupun putih, dan menyesuaikan jasnya dengan abu – abu muda, putih gading, abu – abu tua. Tentu saja, semuanya dibuat di butik tengah kota. Seperti sepatunya yang begitu formal, ataupun tas selempangnya yang berbentuk persegi Panjang.


Veestel merasa begitu buta, karena semua warna yang disukai dan dikenakan Sean adalah klu keras bahwa si konglomerat genius itu adalah psikopat.


Bagaimana bisa ia begitu tidak pekanya?!


Memang benar, Veestel dan Sean saling kenal karena hubungan adik – adiknya yang super tidak masuk akal. Namun entah bagaimana, Sean tiba – tiba dekat dengan Veestel, hingga kini membawa Veestel ke rumahnya adalah hal yang terlampau wajar. 


Tante Linda, ibu Sean, bagaimanapun adalah wanita cantik ceria, yang begitu bahagianya melihat Veestel dengan gaya nyentrik nan tidak-lembut-sama-sekali. Melihat Veestel dan anak pertamanya yang menyusahkan itu akur, Wanita tersebut begitu bahagianya, dan dengan sangat senang menyambut kedatangan Veestel di rumahnya.


 Lama kelamaan, seperti kehadiran Seth di rumahnya, kehadiran Veestel di rumah Sean juga menjadi hal yang sangat lumrah.


Sayangnya, berbeda dengan Seth yang datang penuh kasih sayang, Veestel didatangkan dengan setengah keterpaksaan, dan dipulangkan Ketika Sean merasa ingin memulangkan. Atau, dengan baik hatinya Seth memesankan ojek online agar "kakak ipar" nya bisa pulang sebelum subuh menjelang.


Veestel, tidak pernah terlalu memikirkan mengapa ia harus mengerjakan tugas, makan, dan bersantai di rumah Sean yang semacam kuil serba putih itu, hingga sekarang. Sebelum – sebelumnya, Sean yang kelebihan IQ memang sangat membantu dirinya mengerjakan tugas, meskipun dia adalah mahasiswa kriminologi dan Sean sedang meneruskan S2 si psikologi.


 Namun kini, setelah kehadiran Romeo, terlebih lagi setelah perbincangan horror mereka di rumah, Veestel merasa kamar Sean yang serba hitam – putih adalah terror.


Dan Veestel bahkan tak punya nyali untuk memakan cemilan yang disediakan, atau menyeruput es teh manis yang special dibuatkan Sean.

"kamu sakit, Veestie? Kok diem – diem aja? Biasanya udah tidur – tiduran di Kasur?"

"tidur – tiduran di Kasur?"


Romeo, yang telah resmi akan ikut kemanapun mereka pergi, tergelak dengan tawa santai nan mengesalkannya itu. Veestel memutar mata, seakan – akan kondisi canggungnya ini kurang cukup untuk membuat hari – harinya sulit, "emang kenapa kalau tidur – tiduran di Kasur hah?"

"ya gak papa," Romeo nyengir, tapi terlihat meledek, "kalau udah akrab mah beda."


Alhasil, Veestel bad mood, dan Romeo semakin tertawa. Sean, melihat dua manusia kesayangannya "get along" tersenyum puas, "I know you guys can be just right to be friends,"

Our Dearest PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang