Arunika & Sanjalingga

10 0 0
                                    

"Kepada Arunika Safitri,

Saya tidak tahu apakah surat ini sampai padamu atau tidak. Awalnya saya ingin menitipkan surat ini melalui kantor pos NASA dengan nomor tujuan Apollo seri 24 yang kamu tumpangi itu. Namun, tukang suratnya tidak ramah sama sekali. Padahal surat saya sudah ditempeli perangko terbaik yang masyur pada zaman Soeharto dulu. Tapi mereka membentak dan bilang bahwa saya menganggu pekerjaan mereka. Mereka menambahkan kalau badai matahari yang melanda bumi jauh lebih serius daripada cinta yang saya miliki.

Saya begitu kesal, Arunika. Bisa-bisanya para pria berseragam itu meremehkan cinta yang saya miliki. Apalah pula gunanya bebas dari badai matahari bila ia tak memiliki cinta. Jauh dari kekasihnya yang pergi ke luar angkasa dan tak tahu kapan pulangnya. Arunika, sungguh. Saya merindukanmu. Saya yakin, dirimu pula merasakan hal yang sama. Maka dari itu, semogalah surat ini menjadi pelipur lara bagimu.

Arunika. Hingga saat ini, saya masih percaya dengan kekuatan cinta. Bagaimana tidak, cintalah yang mampu melahirkan ruang jingga diantara merahnya rasionalitas dan kuningnya ambiguitas. Kamu adalah perwujudan merah itu sedang saya si kuning itu. Kamu adalah logam mulia sedang saya adalah sianida. Kamu berbahasa fakta dan angka, saya berbahasa kunci Ab alias asal bicara. Kau berkecukupan bahkan kaya raya, saya berkekurangan bahkan miskin raya.

Kita hanya punya satu kesamaan, yakni begitu senang melihat langit saat hujan. Seketika itu, langit menjelma menjadi ilham. Melihatnya bagimu membuat kepala encer sehingga mampu menurunkan formula-formula sukar. Melihatnya bagiku mengalirkan inspirasi kemudian tertulislah bait dan lirik penuh sindir lagi satir. Hingga akhirnya, tiap episode cinta kita selalu berisikan tentang hujan. Ingatkah engkau saat kita terjebak hujan berdua di salah satu taman kota di Jakarta timur? Dapatkah kupingmu ingat rintik genting rumahmu saat saya ditolak orang tuamu? Mampukah kulitmu mengingat dinginnya hujan saat kita bermotoran seolah kita tak akan pernah terpisahkan? Serta masih ingatkah juga kamu bagaimana hujan meluluh lantakan pesta pernikahan 5 menit sebelum acara dimulai. Saya sudah bilang, kalau stand party itu tidak hanya mahal, tapi punya risiko yang besar. Tapi untunglah ada masjid sekitar. Tak apa tak bermegahan, asal ijab Kabul bisa diucap lantang.

Arunika, bagaimana mungkin saya bisa lupa semua momen itu. Bukankah momen-momen itulah yang kemudian melahirkan satu lagi kesamaan dari diri kita. Mengenai langit pula, yaitu tentang kita yang begitu menyukai pelangi sehabis hujan. Kita begitu tergila-gila. Merasa bahwa tuhan menciptakan warna-warna itu khusus untuk kita. Pensil warna faber castel itu diproduksi berwarna-warni untuk menggambarkan cinta kita. Sampai Menganggap lagu buatan nidji yang berjudul lascar pelangi adalah lagu yang dibuat khusus untuk kita yang padahal lagu itu bukan bicara soal cinta.

Semua berjalan seperti seharusnya. Hingga hari itu datang dan kau pergi. Ilmuan di tv itu mengatakan bahwa umur bumi tinggal sedikit lagi. Badai matahari itu terus meronta-ronta hingga mengakibatkan krisis pangan di seluruh belahan dunia. Masyarakat kelaparan dan kepala negara mengambil sikap untuk berperang supaya bisa menguasai pangan yang tersisa. Orasi kemanusiaan seakan jadi pembual nomor satu karena bagaimana bisa orang jadi manusia kalau perutnya terus terusan lapar.

Tiada cara untuk mengatasi hingga perserikatan ilmuan dunia mengambil sikap. Demi menyelamatkan spesies manusia, ada orang yang harus bermigrasi dari bumi, menetap, dan beranak pinak di sana. Disiapkanlah roket raksasa yang mampu menampung 1000 orang dengan gen terbaik didalamnya dengan fasilitas yang memadai. Mulai dari ruang makan, gym, bahkan ruang persalinan. Dan kamu, Arunika. Kamu termasuk dari 1000 manusia beruntung itu. Sedang saya tidak. Siapa yang mau genetik dari seniman jalanan, bukan?

Saya bilang untuk tidak untuk ikut. Bukan, bukan karena saya kecewa karena tak terpilih. Tapi tiada yang menjamin kalau project ini akan berhasil. Bahkan professor mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan kalau aka nada yang meninggal sewaktu perjalanan di Mars. Bukankah lebih baik kau tetap tinggal. Menetap di sini berdua denganku sampai ajal menjemput. Kita tetap bahagia walau matahari meraung-raung di luar sana. Karena kamu, Arunika, adalah satu satunya bahagia saya.

Namun, pertengkaran pertama kita terjadi. Kau ingin menyelamatkan umat manusia. Kau merasa inilah waktu untuk mewujudkan cita-citamu yakni ingin bermanfaat bagi kemanusiaan. Tapi saya menolak. Maafkan saya Arunika. Saat itu saya memilih jadi antagonis dalam ceritamu. Saya memilih jadi penjahat yang ingin menghancurkan cita-citamu. Tak mengapa, asal saya tidak kehilanganmu. Kaulah satu-satunya yang seniman jalanan ini miliki.

Tapi, saya kalah dengan cita-citamu. Kau tetap pergi. Dan saya sendiri. Maaf, hari itu saya tak mampu mengantar kepergianmu. Tiap kali saya bangun, saya selalu tersiksa mengetahui kekalahan saya dalam menjagamu untuk selalu berada di samping saya. Hati saya kosong melompong, Arunika. Tapi saya tak bisa apa apa. Kenyataannya, kamu tetap pergi dan semakin menjauh dari bumi. Sedang saya, tetap di sini bahkan akan dikuburkan di sini.

Arunika, pelangi berhenti datang kebumi. Musabab hujan dan cahaya tak pernah lagi seirama. Sekarang, cinta kita dahulu benar-benar tak nyata. Bagaimana saya harus mengingatmu sekarang, Arunika? Kalau satu-satunya apa yang kita sukai telah punah. Bagaimana di sana, Arunika? Apakah pelangi juga ada di Mars?

Arunika. Tahun berganti tahun. Akhirnya saya mengerti Arunika. Akhirnya saya mengerti. Akhirnya saya tahu kenapa saya kalah dengan cita-citamu. Karena cita-citamu juga mengandung cita-cita saya. Saya menemukannya Arunika. Testpack dan keterangan dokter mengenai kehamilanmu, tentang anak kita. Entah apa alasanmu merahasiakannya dari saya. Tapi saya senang. Saya senang karena kalah dengan cita-citamu. Kamu ingin melindungi cita-cita saya yang ingin memiliki anak tangguh. Dan kamu melakukannya.

Apalah saya yang bahkan tak bisa jadi suami yang mendukung dan melindungi istrinya. Maafkan saya, Arunika. Sanjalingga tak ada ketika Arunika butuh kedondong asam atau manga muda. Maafkan saya. Sanjalingga tak hadir saat Arunika bilang bahwa sang bayi sedang girang-girangnya menendang. Maafkan saya Arunika. Sanjalingga tak pernah ada saat kamu merintih kepayahan dan bayi kita lahir.

Arunika, terima kasih. Terima kasih telah melindungi dan menyelamatkan anak kita. Satu satunya pelangi yang hadir di zaman sekarang. Dan padamu anakku, pelangiku, tolong jaga bunda ya. Semoga kalian bahagia selalu."

Ditulis Bumi

Galih Sanjalingga

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lelaki KerenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang