⌛- Ditinggal

333 62 12
                                    

Bercerita kepada seseorang mempunyai tiga respon. Ceritamu dijadikan pengalaman, ceritamu dijadikan bahan pergosipan atau mungkin ceritamu dijadikan alasan untuknya menemani kesedihanmu.

Lalu, menurut kalian diantara ketiganya mana yang menjadi responnya?

...

"Manis," ucap Afara menyaksikan detik-detik matahari terbenam dengan sempurna.

Zivian mengira itu adalah pose Afara, dia memotret Afara saat tersenyum, menatap langit dan juga saat menoleh padanya.

"Udah?" tanya Zivian.

"Udah kak, aku 'kan berfoto cuman sekali. Memangnya kakak kira aku berfoto berapa kali?" Afara mengambil camera dari tangan Zivian.

"Loh? Kakak paparazi? Aku cuman minta difotoin sekali, jelek ih. Cara hapusnya gimana?"

Afara berusaha mengotak-atik camera Zivian mencari di mana tombol untuk menghapus foto. "Kak?" tanya Afara.

Zivian merampas cameranya tanpa menjawab pertanyaan Afara. "Pulang."

Afara melongo dibuatnya. "Astagfirullah hey! Dasar tukang paparazi."

Afara menatap sinis punggung Zivian. Ingin rasanya mencakar punggung itu tetapi, sayang Afara tidak mempunyai kuku yang sangat panjang seperti cerita fantasi di dalam buku. Dia hanya mempunyai kuku pendek dan untuk mencakar saja kukunya tidak akan mampu melakukannya.

Sial, lain kali ingatkan Afara untuk tidak memotong kukunya.

Bruk!

"Awh!" Afara mengelus jidatnya. Lagipula kenapa Zivian harus berhenti mendadak seperti ini.

"Kemana yang lainnya?" tanya Zivian.

Raut wajah Afara berubah panik. Dia melihat sekeliling berusaha mencari keberadaan keluarganya.

Tunggu ... apa jangan-jangan dia ditinggal? Tidak! Itu tidak mungkin, keluarganya tidak mungkin setega itu meninggalkan dirinya di pedesaan yang jauh dari kota bersama Zivian, pria yang dia musuhi semenjak pertemuan kedua.

"Afara!" bentak Zivian tanpa sadar karena perasaan kalut menunggu jawaban. Dia tidak mungkin mengizinkan Afara untuk ikut pulang bersama dengan mobilnya. Dia ingin orang yang pertama kali duduk di mobilnya adalah istrinya. Bukan orang asing.

Afara tersentak, mendongak menatap Zivian. "Aku tidak tahu, kenapa membentakku. Jika mereka meninggalkan kita, kenapa aku yang di salahkan?"

"Argh!" Zivian mengeram berusaha menahan amarahnya.

Zivian menghela napas. "Telfon mereka."

Afara mengangguk. "Sebentar." Afara merogoh tas selempangnya berusaha mencari benda persegi itu.

"Astagfirullah, aku lupa membawanya." Afara menggigit kukunya. Bagaimana ini? Apa dia benar-benar ditinggal?

"Bagaimana mungkin?!"

Afara menunduk menatap kakinya. "Maaf. Ini salahku, aku lupa membawanya."

Zivian menghela napas. "Ya sudahlah," ujar Zivian melangkah kepondok bambu untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Zivian menatap Afara dari pondok bambu. "Ingin berdiri di sana untuk selamanya?"

"Eh, ha?"

"Kesini, duduk."

Afara mengangguk. Ikut duduk dipondok bambu. Afara berusaha menjaga jarak dengan Zivian. Afara masih sedikit terkejut akibat bentakan Zivian.

Tidak. Afara tidak lemah, dia hanya tidak pernah dibentak seperti itu.

"Jadi bagaimana? Tidak mungkin saya mengajakmu ikut pulang bersama."

Afara menoleh bingung. "Kenapa tidak mungkin?"

Zivian menatap langit yang mulai gelap. "Karena hanya satu orang yang bisa duduk bersama dengan saya di dalam mobil pribadi yang saya miliki."

"Siapa?" tanya Afara yang tak paham.

Zivian menoleh menatap jilbab atas Afara. "Istri sah saya."

Afara mengangguk paham. "Ya sudah, menikah saja sana."

"Orang yang saya kira adalah jodoh saya. Pergi menghilang karena satu kesalahan yang saya lakukan. Saya berusaha menjelaskannya tetapi, dia tetap kukuh pada keputusannya untuk membatalkan pernikahan," ujar Zivian begitu saja tanpa sadar.

Afara menatap ayunan kedua kakinya. "Kesalahan apa?"

"Kenapa kamu ingin tahu? Kita bukanlah siapa-siapa yang harus saling berbagi masalah."

Afara mengangguk setuju. "Benar, kita bukanlah siapa-siapa."

Afara mendongak mentapa Zivian. "Tetapi, jangan bersedih kak, mungkin saja dia bukanlah jodoh kakak. Ingat bukan? Allah mengetahui apa yang terbaik untuk umatnya. Mungkin saja yang kakak kira baik ternyata tidak di mata Allah."

"Kamu benar."

"Jangan sedih lagi, muehehe." Afara terkekeh berusaha mencairkan suasana.

...
Heyyoooww!

Tinggalkan jejak ya. 🐣

#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia

Cahaya Bulan April [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang