"Beli!" Terlihat bocah laki-laki di warung.
"Beli." Anak itu sudah memegangi dua bungkus pilus bergambar kepala kelinci, satunya ia masukkan dalam kantong celana. Terdengar sautan pemilik warung dari dalam, anak itu langsung meletakkan koin seribu di meja dan menghilang, pulang.
"Itu Aji ya, Mas?" Pemilik warung terlihat sedikit panik.
"Kurang tau, Bu." Aku memang belum paham dan kenal pada semua anak di sekitar sini.
"Iya itu Aji, ambil apa dia. Ni uangnya dia yang seribu?"
"Iya."
"Ambil apa aja dia, ya?" tanyanya, sambil berpikir.
Kutunjuk makanan kemasan, dan kuberi tahu hanya satu yang diambil.
Aku pun langsung membeli keperluan. Dua batang sabun dan beberapa saset sampo. "Sama pilus ini, jadi berapa totalnya."
"Limabelas ribu, Mas."
Setelah dari warung aku pun pulang. Kontrakanku berada di gang sempit dan banyak belokan, saat hendak masuk ke kontrakan kulihat anak kecil tadi ada di pintu rumah paling ujung tampak memperhatikanku.
Urung masuk ke dalam, anak kecil itu berhasil menarik perhatianku. Kuhampiri dia di rumah sana, tapi anak itu terlihat takut dan langsung masuk menutup pintu.
Selama tinggal di daerah ini, aku baru melihatnya tadi di warung, padahal sedekat ini rumahnya. Tidak pikir panjang, langsung kuketuk pintunya. Tak lama muncul seorang wanita.
"Ada apa ya, Mas?"
"Ini rumahnya Aji?"
Wajah wanita itu langsung sedikit panik. "Aji ada nakal, ya?"
"Nggak, Bu. Mau kenal aja sama dia, saya ngontrak di sana Bu. Tadi kebetulan liat Aji berdiri di pintu."
Ibu itu membuka pintu dan memberi tahu kalau Aji sedang makan dengan adiknya. Tiba-tiba hatiku langsung terenyuh, ketika melihat isi piring di pangkuan mereka. Nasi dan pilus.
Aji tampak menciut, tangannya sedikit gemetar.
"Masuk aja." Ibu itu mempersilakan aku masuk.
Kuajak anak itu berjabat tangan, kenalan. Satu detik, dua detik, hingga lumayan lama, belum juga dibalas uluran tanganku.
"Tangan saya kotor, Om. Maaf." Akhirnya terdengar suaranya pelan.
Ibunya mengajak adiknya ke dalam untuk cuci tangan, disusul Aji. Aku duduk sendiri menunggu mereka kembali.
Kuperhatikan sekeliling rumahnya, tidak ada barang yang terlihat berharga. Hanya ada satu lemari pendingin, yang pintunya terbuka memperlihatkan beberapa pakaian yang sedikit berantakan.
"Maaf, Om. Ada apa, ya ke sini?" Aji terlihat memberanikan diri.
"Om, mau kasih ini." Kuberikan satu renceng pilus yang seharga lima ratusan, tidak sama seperti yang ia beli tadi. Karena aku pun sebenarnya sedang berhemat. Setidaknya bisa mengurangi Aji untuk berbuat hal tidak baik.
"Lain kali jangan seperti tadi, ya," pesanku berbisik.
Aji menoleh ke belakang, berharap ibu tidak tahu.
"Aman." Kutenangkan Aji sambil mengusap pundaknya.
"Maaf, Om," lirihnya.
"Iya."
"Makasih, Om." Aji langsung memeluk tanpa kuminta. "Makasih, Om. Udah baik sama Aji."
"Iya, iya."
"Sebenarnya Aji ambil pilus dua, soalnya kalau cuma satu, nanti kurang buat Ade." Akhirnya Aji mau mengatakannya.
Anak itu menceritakan semua kegundahan hatinya. Selama ini ia sering makan dengan garam. Mereka bisa menikmati lauk enak, jika ibunya ada kerjaan mencuci baju tetangga. Itu pun cuma tempe dan kerupuk.
Kulihat di balik gorden yang kusam, ada ibunya Aji. Tubuhnya tampak bergetar sambil mengusap pipi.
"Aji, harus makan apa aja yang ada. Kasian ibu. Biar Aji belum bisa bantu ibu, setidaknya Aji jadi anak yang baik."
"Iya, Om."
Aji langsung berlari ke belakang, memeluk ibunya di balik sana. "Maafin Aji ya, Bu. Aji janji, gak bikin utang Ibu di warung tambah banyak. Gak mau ambil jajanan lagi kalau duitnya kurang."
"Iya, nak. Ibu juga minta maaf, belum bisa kasih Aji makan enak seperti anak lain."
Ibu dan anak itu saling berpelukan. Tak lama keluar dari sana. Ibunya menceritakan, bahwa sudah hampir seminggu tidak ada yang memakai jasanya untuk mencuci baju.
Aji pun jarang bermain di luar, ia memilih di dalam karena takut iri anak sebayanya bisa jajan.
Sedang ayahnya meninggal dunia, disaat Aji masih usia lima tahun, dan adiknya masih dalam kandungan.
Terdengar miris, memang. Tetapi itu sudah takdir, dan Aji harus bisa menjalani hari-harinya dengan seadanya.
Perbuatan Aji bukan karena salah asuhan, tetapi ia hanya ingin merasakan seperti anak sebayanya, yang bisa makan enak.
"Kalau begitu, saya pulang dulu, ya."
Lupa kalau sudah mau sore, dan aku belum mandi untuk bersiap berangkat kerja.
"Iya, Mas. Makasih udah mampir."
"O, iya. Besok saya ke sini lagi pulang kerja. Minta cuciin baju sama Ibu, bisa?"
"Bisa banget, Mas." Wajah perempuan itu tampak sumringah.
"Besok biar Aji aja yang ambil bajunya, Om ke rumah," saut Aji.
"Boleh."
Tamat.