Semilir angin menyeruak masuk tatkala jendela kamarku terbuka. Dingin terasa serta menguarkan aroma yang tak bisa kujelaskan. Apapun itu masih lebih baik dari suhu ruangan ini yang bak disulut api.
Aku kembali duduk di kursi satu-dua jengkal tak jauh dari jendela. Kembali mengumpati tumpukkan kertas berikut komputer lipat yang kini meredup layarnya. Itu tugas-tugas sekolahku. Masih jauh dari kata rampung. Sedangkan esok pagi, pukul tujuh tepat adalah tenggat waktu pengumpulan.
Saat ini jam dinding menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh. Tiada lagi yang bisa kulakukan selain memangkas waktu tidur. Meski dilanda kantuk, mati-matian aku menahannya. Sebab itulah aku membuka jendela di samping. Menatap terang rembulan yang memancar sembari mengusir gerah.
Agaknya malam ini lebih senyap daripada malam-malam yang lalu. Ayah dan ibuku tengah pergi mengunjungi saudara kami di kota. Ini bukan kali pertamaku melewati malam sendirian. Namun, entah apa yang membuat malam ini seakan ditelan lebih banyak keheningan.
Barangkali juga itu sekedar perasaanku yang tak keruan. Berjam-jam berkutat dengan tugas yang menggunung membuatku dongkol bukan main. Lantas tersadar sekitarku begitu senyap.
Sesekali kuseruput kopi panas yang kini mulai mendingin itu. Lantas kembali membuka lembaran buku atau mengetik sesuatu. Sementara udara dari luar jendela kian merasuk. Dingin. Aku memutuskan untuk menutup jendela ketika telingaku menangkap sebuah suara.
Tok, tok....
Itu suara ketukan. Samar-samar bunyinya datang dari pintu depan.
Tanganku setengah terangkat, hendak menutup jendela kamar tetapi urung. Aku belum beranjak menuju pintu depan. Sebaliknya aku malah menatap keluar jendela. Beberapa detik terbilang ketukan itu tak lagi terdengar. Barangkali saja itu bukan dari rumahku.
Tok, tok!
Kali kedua, sedikit lebih keras. Aku bangkit dari kursi. Beranjak keluar kamar. Meninggalkan meja belajarku yang tak lagi jelas bentuknya itu. Namun langkahku terhenti di ruang tengah. Aku bergeming sesaat. Ketukan itu terasa janggal. Siapa yang nekat bertamu malam-malam begini? Ayah dan ibu bilang mereka akan pulang selepas dua hari.
Tok, tok, tok!
Kali ketiga, yang paling kencang. Aku terkesiap dari lamunan. Itu tidak mungkin ayah dan ibu. Pintu itu seolah diketuk tak sabaran.
Tidak ada kali keempat. Ketukan itu terhenti lebih lama lagi. Aku lantas mendekati pintu. Setengah berjinjit tak ingin membuat bising secuil pun.
Pelan-pelan kedua tanganku menyibak tirai dengan gemetar. Membuat celah kecil supaya netra ini leluasa mengintip beranda rumah. Terlepas dari kejanggalannya, kali ini aku berharap seseorang benar-benar datang bertamu.
Namun dari balik tirai, rupanya halaman rumahku lengang. Tidak ada tamu, pun tidak ada lagi ketukan itu. Jantungku berdebar lebih kencang hingga peluh setitik menetes di dahi. Lantas tanpa lagi berpikir, tanganku menyambar daun pintu. Menariknya dengan kasar.
Sekali lagi, beranda rumahku lengang. Hanya derik serangga yang memenuhi. Satu-satunya hal yang mencolok ialah rumah besar di seberang sana yang sepenuhnya ditelan gulita. Selebihnya normal-normal saja.
Aku menelan ludah. Sebenarnya ketukan itu dari mana? Sekitarku mesti telah terlelap. Pun tidak ada siapa pun di luar rumahku. Menilik fakta itu membuat jantungku berpacu lebih cepat.
Lekas kutepis bayang-bayang ganjil yang mulai merasuk. Perlahan aku menarik napas, membuangnya pelan. Berusaha menyelimuti hati dan pikiran dengan ketenangan. Ketukan itu hanya angin lalu. Bukan apapun.
Maka kembali kututup pintu itu, menguncinya rapat-rapat. Tanganku masih gemetar. Dengan sedikit gentar aku pun berbalik. Sedetik itu dadaku mencelus.
Ia berdiri di hadapanku. Seorang perempuan berseragam putih lusuh. Nyaris seluruh pakaiannya dilumuri cairan merah hingga menetes di lantai. Rambut panjangnya kusut terurai. Ia tertunduk dan napasku tercekat dibuatnya.
Tak lama wanita itu sedikit mendongak.
"Selamat malam," sapa wanita itu dengan suara serak menggeram yang seolah telingaku bisa koyak sebab mendengarnya.Entah mengapa seluruh tubuhku mendadak mati rasa. Bahkan sekadar membuka mulut pun berat rasanya.
Aku mematung di dekat pintu. Menatap ngeri pada wanita itu yang kini melangkah mendekat. Dapat kupastikan jarak kami hanya lima jengkal. Napasku memburu tatkala tangan pucatnya menyentuh bahuku pelan.
Sekali lagi wanita itu mendongak, menyibak rambut kusutnya. "Senang bertamu di rumahmu," ujar wanita itu masih dengan suara seraknya. Aku tak tahu ia tengah mengulas senyum ataukah memasang seringai mengerikan karena wanita itu tak mempunyai wajah. Tetapi wanita itu lantas tertawa, melengking suaranya memenuhi segala penjuru rumah.
Jantungku berada pada titik tercepatnya berpacu hingga teriakanku tak lagi bersuara. Secepat angin berembus kejadian itu berlangsung sebelum akhirnya kedua mataku dikungkung kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tamu Malam Ini
Short Story"Tok tok tok!" Buka pintu! Seseorang datang bertamu malam ini.