It Was Supposed To Be Romantic.

351 45 12
                                    


'Did you trim your facial hair?" Dua kata yang aku keluarin saat liat kumis dan janggut Luca terlihat rapi. Dia mengenakan kemeja biru pastel lengan panjang yang sukses menonjolkan otot-ototnya. Dia biarkan kancing kemeja paling atas terbuka, menunjukan dadanya yang bidang. Celana berwarna biru tua membalut kakinya yang jenjang sampai ke mata kaki. Penampilannya disempurnakan dengan sepatu loafer cokelat mengkilap. Aku mengedip ngedipkan mataku. 

"Ini kan hari spesial. I take it very seriously. Kamu tau sendiri kan aku nungguin hari ini sepanjang minggu!" Jawabnya, berjalan menuju cermin. Anting di telinga kirinya bergoyang. Memang benar, bahkan Dino sengaja mengatur jadwal shiftnya supaya dia bisa libur hari ini. Kencan pertamaku dengannya. Kami tak mau gegabah dan bilang kami pacaran. Kami sepakat ini hanyalah satu langkah ke depan, kami akan melakukan semuanya perlahan. No hard feelings. Ku kenakan baju terbaikku, semprot parfum sana sini.  Aku pandangi wajahku di depan cermin.

"Sini, biar aku bantu." Kata Luca lagi, mengacak-acak rambutku sedikit dan menyisir-nyisir rambutku dengan sela-sela jarinya.

"Hey! Apaan sih! Aku butuh waktu lama tau nata rambut ini!"

"Aku cuman pengen kamu tampil natural aja. You look perfect without even trying." Pipiku memerah, sementara yang bicara malah sibuk meluruskan kerah kemeja navyku, kemudian menepuk-nepuk dadaku. "There you go." Dia tersenyum. Aku membalas senyum itu. Matanya berbinar puas, tapi kemudian dua bola matanya tergenang air.

"Kenapa?" Tanyaku khawatir.

"Ah bukan apa-apa." Luca menyusut air matanya. Aku mengikutinya berjalan keluar. 

"Kita naik mobil atau vespa?" Aku penasaran

"Neither. Kita jalan kaki. Aku pengen jalan aja biar lebih lama, nikmatin setiap langkahnya." Luca tiba-tiba berhenti berjalan dan berbalik dengan wajah yang terlihat merasa bersalah. "Maaf, maaf kadang aku suka cringy gitu ya?" Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku.

Setelah melangkah keluar dari gedung apartemen, Luca berdiri menghadapku mengulurkan telapak tangannya yang terbuka. Aku menghembuskan nafas dengan senyuman dan meraih tangan itu. Ada perasaan aneh saat aku memegangnya. Luca tersenyum sambil mengusap-usap tanganku.

"Kamu beneran ga akan ngasi tau kita mau ke mana?" Luca gelengin kepalanya sambil natap aku dengan jahil. "Kalo buruk banget, ga bakal ada kencan ke dua ya!"

"Hey, are you serious?"

"Of course not. But I kinda am."

"Fiuh, no pressure. Karena sekarang kita sedang kencan, boleh dong aku tanya-tanya kamu sesuatu?"

"Ask away"

"Kapan kamu lahir?"

"Seriously?" Aku sedikit heran dengan pertanyaannya.

"Seriusan, kita ga pernah loh ngomongin kaya gini. I genuinely wanna know all about you. Ada aja kan hal-hal yang ga bisa kita tebak cuman dari liatin gerak-gerik orang!"

"Oke, oke... 19 April. Kamu?"

"19 April? Ya ampun kamu ga bilang kalo bulan lalu kamu ulang tahun? Aku bener-bener kecewa loh."

"Sorry... tapi aku tipe orang yang ga suka dirayain ulang tahunnya. Ga penting banget."

"Aku bukan mau ngerayain ulang taun kamu, tapi ngerayain mau bilang makasih dan selamat sama ibu kamu. Pada tanggal itu bertahun-tahun lalu ibu kamu mempertaruhkan nyawanya loh buat lahirin kamu."

Gema tiba-tiba berhenti berjalan. "Aku ga pernah loh mikir kaya gitu. That is so so true. I need to call her later. Kalo kamu?"

"3 Agustus, awas aja kalo lupa!"

KintsukuroiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang