So, here I am. Aku sampai di tempat tujuanku. Angin dingin membelai pipiku lembut. Dingin, tetapi aku menyukainya. Tempat ini masih seperti dulu. Masih penuh dengan rerumputan tinggi yang menyenangkan, bergoyang pasrah mengikuti angin. Pohon itu masih ada. Pohon berdaun banyak yang berdiri kokoh di atas sana. Bukit ini masih terasa penuh dengan kenangan. Masih terasa hangat, di tengah dinginnya cuaca di awal bulan Desember. Masih sama, masih sama seperti dulu.
Kenangan itu berputar begitu saja di pikiranku. Every single thing that we have done, playing in my head before I press the play button.
Aku melangkahkan kakiku, menghentikan putaran kaset memori di otakku. Ku hirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Jaketku bergoyang karena angin, ku paksakan diriku menjejal dinginnya sore ini. Ku naiki bukit kecil ini, menuju ke tempat nyaman di bawah pohon rindang itu, yang seolah menyimpan beragam memori di setiap helai daunnya.
Sampailah aku tepat di depan pohon ini. Terukir jelas 'GC' di kulit batangnya, bisakah 'GC' ini bertahan sedikit lebih lama?
Aku tempatkan diriku di atas akar pohon, duduk bersandar menunggu kedatangannya.
Bisakah aku? Sudah siapkah aku?
Tak lama sosok itu terlihat. Bibir ini merangsangnya dengan senyuman, dan jantung ini merangsangnya dengan deburan keras yang luar biasa. Hal ini hanya terjadi jika ada dirinya. Hanya dia. A boy who has those sleepy sparkly brown eyes. Sosok itu masih disana, tengah memarkirkan sepedanya di bawah bukit sana. Dia mendaki perlahan, sambil sesekali menggosokkan telapak tangannya karena dinginnya udara.
"Hey, Carly." sapanya, dan detakan jantung ini terasa semakin keras berdentum di telingaku.
"Hi, Grey." balasku. Dia tersenyum dan duduk di sebelahku.
"Kau sudah lama di sini?" tanyanya.
"No, aku baru saja datang," dia kembali tersenyum. Senyuman itu. Hanya dialah yang memiliki senyum itu. Senyum yang berbeda. A smile that always makes my heart getting wild.
Dia meraih tanganku. Berbagi kehangatan di tengah dinginnya kota Edmond. Dia menghela napas, tersenyum kecil di tengah kegetiran di matanya. Tak ada kata yang terucap atau hal lain yang dia lakukan. Dia membiarkanku bersandar di pundaknya.
Keheningan berhembus. Kami membiarkannya. Tak ada pembicaraan. Atmosfer yang sebenarnya kami sukai. Entah kenapa namun hal ini semakin menyakitkan bagiku. Bisakah waktu berhenti, dan membiarkanku selalu bersamanya? Melihat mata sayunya menyipit karena tawa? Melihat senyumnya yang menghangatkan dada? Atau hanya menghabiskan waktu bersamanya menikmati indahnya malam? Mungkinkah hal itu terjadi? No, it won't be happened. Time still flies, the clock's still ticking.
"Carl..." suara itu terdengar lembut, memanggilku pelan di tengah suasana sore yang dingin namun sejuk. Suara gesekan lembut dedaunan di sekitar kami terasa tak mengganggu, justru membuat kami nyaman. Can we just stop the time for a minute?
"Yes, Greyson?" responku. Greyson diam, butuh waktu belasan detik untuk membalas kalimat yang baru saja keluar dari kerongkonganku. Entah apa yang ada di balik tempurung kepalanya, apakah dia senang? Atau justru sedih? Entahlah, pancaran di matanya terlihat sendu, namun di sisi lain, dia sudah bisa merasakan keajaiban mimpi-mimpinya yang sebentar lagi akan terwujud.
Aku tak mau hari ini terjadi. Aku tahu itu. Dia tahu itu.
"So, here we are..." katanya akhirnya, suaranya bergetar, jari-jarinya semakin erat merangkul jari-jariku.
"I hate distance," kataku, setengah terisak. Keheningan memaksa cairan bening jatuh dari pelupuk mataku.
"I know.." Greyson tertunduk. "I will be back I promise," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Purple Hill
FanfictionAnother version of She Will Be Loved. You will see another side of Carly, and another side of Greyson. You will just feel another version of Carly's story. But nobody knows which one is true. You choose. You decide.