1. Cap Kaki Kucing

95 33 0
                                    

Sore ini, aku pulang lebih awal dari biasanya. Rupanya bos ku cukup bisa memahami kalau biasanya hari ini aku cuti. Makanya ia tidak ingin aku bekerja terlalu memaksakan diri, sehingga ia menyuruhku pulang sore. Padahal, biasanya bisa sampai malam baru selesai pekerjaan. Karena aku tidak terbiasa pulang sore, aku jadi buta akan keadaan lalu lintas. Ternyata jalanan di sore hari lebih macet daripada malam.

Sudah lebih dari lima belas menit, taksi yang ku tumpangi tak menggerakkan roda sejengkal pun. Agaknya, jalan kaki akan lebih cepat sampai. Aku menepuk pundak supir taksi dan langsung membayar.

"Lho? Kan belum sampai, mbak?"

"Kelamaan. Mending jalan, Pak. Makasih ya...," ucapku sambil membuka pintu. Aku memilih untuk berjalan menyusuri trotoar. Lebih baik capek berjalan daripada capek menunggu. Lagipula sekalian olahraga. Mengingat berat badanku minggu ini naik dua kilo. Aku tidak mau memiliki badan gemuk, untuk saat ini, badan langsing ku satu-satunya hal yang memiliki nilai tambah. Kalau aku gemuk, maka akan menjadi sangat sempurna kejelekanku.

Benar saja, Aku sudah berjalan jauh, Taksi yang aku tumpangi tadi masih berada 500 meter di belakang. Ini adalah bukti bahwa jalan kaki lebih cepat daripada naik mobil dalam keadaan macet total begini. Seringkali aku menahan diri untuk tidak menyalahkan pemerintah. Tapi apa boleh buat, Pemerintah Kota Megakarta hanya bisa membuat wacana dan wacana. Sementara pelaksanaannya nol besar.

Sudah setahun proyek pelebaran jalan saja mangkrak. Bukannya memperlancar lalu lintas malah menambah kemacetan. Alasannya karena tertunda pembebasan lahan katanya. Entah, pembebasan lahan atau karena pembebasan uangnya aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang jelas, yang diinginkan warga kota Megakarta adalah pemimpinnya bisa bekerja menata kota dengan baik dan benar.

Ngomong-ngomong sepanjang perjalanan menyusuri trotoar, aku merasa diikuti oleh seseorang. Sebab, ketika aku berhenti dia pun turut berhenti. Ku beranikan diri menoleh ke belakang, ia malah seolah berpura-pura jongkok sambil memberi makan seekor kucing yang ditemuinya di trotoar. Postur tubuhnya menyerupai gadis remaja. Baju yang ia kenakan berwarna abu-abu lusuh. Kemudian aku lanjutkan perjalananku.

Agak jauh ku berjalan, keberadaan orang itu sudah tak nampak lagi. Atau memang sebenarnya dia tidak membuntutiku, mungkin perasaanku saja yang sedang tidak beres. Aku memasuki sebuah gang. Akhirnya setelah lelah berjalan di trotoar, sebentar lagi aku sampai rumah. Tinggal sekitar 200 meter lagi akan sampai rumah susun kebanggaan. Meskipun bagian paling menyebalkannya adalah menaiki puluhan anak tangga untuk menuju ke lantai 4. Karena tempat tinggalku ada di sana.

Melewati gang yang dihimpit dua bangunan besar, beberapa ekor kucing seperti biasa menyambut kepulanganku. Mereka mengeong nyaring sambil menengadah ke arahku. Tatapan mata gemilang itu berkilauan, sungguh tak tega jika aku membiarkan mereka kelaparan. Di dalam tas, aku sudah menyediakan dua ekor ikan bandeng yang memang setiap sore sengaja ku beli untuk ku berikan kepada para kucing liar. Gajiku di toko roti tak seberapa, tapi Aku tak pernah merasa rugi jika harus berbagi. Jika aku tak mampu berbagi dalam jumlah banyak, akan ku lakukan dalam jumlah semampuku. Kepada siapa saja termasuk kepada binatang. Apalagi kucing liar yang tak memiliki majikan. Dia hanya mencari makanan dengan mengais-ngais di tempat sampah.

Jika bukan aku yang memberi makan mereka, siapa lagi? Aku tak mungkin harus mengandalkan para selebgram yang pada pajangan feeds-nya terpampang gambar-gambar kucing impor dengan bulu-bulu lembut nan cantik. Meskipun mereka menuliskan 'Pecinta Kucing' pada Bio instagramnya,  nyatanya mereka hanya mencintai kucing dengan paras yang menawan. Sementara kucing liar yang setiap hari mengais sampah ini, tak dipandangnya sama sekali.

Aku pun secara jujur tidak akan mampu menampung mereka satu rumah denganku, karena jumlahnya banyak, tentu akan sulit dikendalikan jika harus berbaur dengan perabotan di rumahku. Tetapi, paling tidak aku tak akan membiarkan mereka kelaparan. Karena aku telah menyaksikan sendiri beberapa ekor kucing mati akibat kelaparan. Itu pernah terjadi ketika kakek-kakek tukang sapu jalanan yang biasanya bekerja sambil memberi makan kucing, meninggal dunia.

Misteri Si Gadis KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang