Lima Puluh Tiga

48 15 0
                                    

53.

Setelah kejadian di mana Hafi mendatanginya serta memukulnya secara tiba-tiba. Mahera memutuskan untuk menjaga jarak dengan teman-temannya. Tidak ingin berbicara pada satu pun dari teman-temannya itu. Ia merasa dibohongi. Karena jika memang teman-temannya lah yang membuat Arhan masuk ke dalam penjara kenapa ia tidak dilibatkan? Padahal orang yang paling berhak untuk memutuskan itu adalah dirinya. Mahera menarik rambutnya kasar, frustasi.

Terdengar suara ketukan pintu pelan. Mahera hanya menoleh karena biasanya ketika ketukan pintu untuk ketiga kalinya. Namun, tak ada jawaban darinya. Seseorang yang mengetuk pintu itu akan pergi.

"Kak?"

"Kakak di dalam?"

"Mama minta kakak keluar kamar," ucap Nadira yang ternyata seseorang dari balik pintu.

"Kak Mahera?"

"Kata Mama, kakak dari pagi belum makan ya? Mama minta kakak turun. Buat makan malam sama-sama," kata Nadira. Ia berkata tepat dilubang pintu agar terdengar jelas.

Sejak kemarin Mahera enggan untuk keluar bahkan hanya untuk keluar dari kamar hanya sekadar menonton televisi atau makan. Mahera menarik napas panjang.

"Ia, dek. Kakak baru bangun. Kamu duluan aja ya? Nanti kakak nyusul," jawab Mahera diiringi tangan yang mengambil ponsel di atas meja belajar. Melihat jam yang ternyata sudah pukul tujuh malam.

Lantas Mahera pun bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Menyalakan keran wastafel dan mengusap wajahnya dengan air keran. Setelah dirasa cukup Mahera pun segera keluar kamar menghampiri keluarga barunya yang mungkin sudah menunggu.

Perlahan namun pasti Mahera menuruni setiap anak tangga. Dan benar saja Mama—Rini, Denar dan Nadira sudah menunggu kedatangannya. Mahera mengambil posisi duduk tepat di samping Nadira.

Rini yang melihat Mahera dengan sigap mengambilkan nasi beserta lauk-pauk yang sudah tersedia. Suasana terlihat sangat hangat.

"Makasih tan—" Mahera langsung mengatupkan bibir dan meralat ucapan. "Makasih Mah," ucap Mahera yang baru saja menerima piring dari Rini dengan perasaan cangung.

"Sama-sama sayang. Dihabiskan ya, kalau perlu nambah," jawab Rini lemah lembut disertai senyum tipis yang tulus.

Antara Mahera, Denar dan Rini mereka sudah baik-baik saja. Sudah memerangi ego masing-masing dan sudah berdamai dengan permasalahan yang ada. Hanya saja butuh waktu untuk bisa menjadi sebuah keluarga yang benar-benar keluarga. Keluarga yang selalu ada, penuh kehangatan, kasih sayang dan tanpa ada rasa cangung sama sekali. Jika saat itu Denar tidak menculik Dearni dan menyekap Davindra. Mungkin sampai saat ini Mahera dan Denar masih saling bermusuhan.

Lima belas menit berlalu begitu saja. Dan makan malam telah selesai tanpa adanya obrol yang berarti hanya diam sibuk dengan makan masing-masing. Rini menarik napas mengumpulkan keberanian untuk mengatakan suatu hal yang entah akan diterima oleh anak-anaknya atau tidak. Karena ini adalah sebuah keputusan besar.

"Ekhm..."

"Mama mau tanya sama kalian, boleh?" tanya Rini hati-hati.

"Boleh. Apa, ma?" jawab Nadira antusias. Diikuti angukan dari kedua kakaknya—Mahera dan Denar.

"Mama mau tanya gimana sekolah kalian?"

"Aku lantar Ma," tukas Nadira yang lagi-lagi menjawab paling pertama.

"Kalau Denar dan Mahera?"

"Saya lancar juga, ma."

"Nah benul tuh. Aku juga lancar mah," pungkas Denar.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang