The Untold Story (1)

22 6 19
                                    

Raquel's POV

"Raquel, Sayang, apa kau mau bermain di luar?" Aku yang dipulangkan oleh kedua orangtua angkatku, jika mereka bisa disebut sebagai orangtua, kembali ke panti asuhan di mana aku berada pertama kali. Anak-anak yang ada di sana sudah banyak berubah, banyak dari mereka yang tidak aku kenal.

Ketika aku kembali, tanpa diduga oleh para pengurus, mereka menjelaskan kalau ada seorang keluarga yang sering datang dan membantu di sana. Mereka juga memiliki anak perempuan yang umurnya hampir sama denganku. Dengan bantuan mereka satu keluarga, panti asuhan ini mendapatkan banyak perubahan. Dari segi gedung yang memiliki fasilitas yang lebih berkualitas, hingga banyaknya anak-anak yang terlihat sehat dan bahagia. Berbeda denganku. Memang sejak awal seharusnya aku tau, bahwa kebahagiaan sama sekali tidak pantas untuk aku dapatkan.

Pertanyaan yang ditunjukkan untukku tersebut kuacuhkan. Untuk apa aku bermain ke luar di saat anak-anak itu pastinya akan menolakku? Lebih baik aku langsung berdiam diri saja dan menikmati waktuku. Membaca buku, menambah pengetahuan. Bukankah itu yang paling penting? Dengan pengetahuan yang banyak, orang-orang akan datang kepadaku dengan sendirinya dan memujiku sebagai anak yang teladan. Karena memang itulah satu-satunya tugas anak, sebagai mesin yang membanggakan kedua orangtuanya. Bila ada yang mau mengadopsiku, setidaknya aku tidak boleh membuat mereka merasa malu seperti orangtuaku yang lama. Mereka malu karena aku tidak bisa masuk dalam ekspetasi mereka.

Tau kalau aku tidak akan menjawabnya, penjaga panti asuhan yang baru itu mengusap kepalaku tanpa meminta izin. Otomatis tanganku langsung menepis miliknya dengan kasar. Pandanganku yang terkejut atas perbuatanku langsung teralih ke arahnya, melihat ekspresi yang tidak jauh denganku. Tak lama seulas senyum terlihat di bibirnya sembari dia menggenggam tangan yang ditepis dan pergi meninggalkanku sendirian. Dia bahkan tidak mengucapkan apa-apa kepadaku, ucapan bahwa tindakanku tidak salah juga tidak keluar. Apa memang aku yang bersalah di sini? Apa dengan begitu, aku adalah penjahatnya di sini? Bila sampai membuatnya seperti itu, sudah jelas bahwa aku penjahat, kan?

"Iya, dia tadi menepis tanganku saat aku mengusap kepalanya," ucap wanita pengurus itu. Suaranya terdengar samar bagiku yang berada di dalam ruang bermain dan membaca, pintu tertutup dan beberapa anak kecil yang berlarian di dalam. "Padahal aku hanya ingin menunjukkan rasa kasih sayangku. Apa mungkin karena itu dia dipulangkan? Sungguh tidak tau terima kasih sekali."

"Bukan begitu. Setiap anak pastinya memiliki alasan. Dia hanya diam saja semenjak kembali, jangan sampai membuatnya semakin parah. Dia juga harus berhenti sekolah sementara karena sekolahnya yang lama mengeluarkannya tanpa alasan. Dia pasti merasa begitu terkejut. Berikan dia waktu untuk kembali terbuka. Lagipula, sore ini kita akan kedatangan mereka kembali."

"Apa kedua anaknya akan datang? Aku dengar yang satu pintar bermain piano dan sering memainkan piano di sini untuk para anak-anak."

Lawan bicara pengurus itu terkekeh kecil. "Iya. Dia sudah menjadi bintang di panti asuhan ini."

Mendengar kata bintang membuatku merasa tertarik. Sedari kecil, aku selalu merasa terikat dengan bintang. Orangtuaku dulu berkata, mereka yang sudah tiada akan berubah menjadi bintang. Meski mereka sudah tidak bersama di dunia, mereka akan terus menyinari orang-orang yang mereka tinggalkan. Para bintang ketika malam bekerja untuk mengingatkan yang ditinggalkan, mereka masih di sini. Mereka semua memerhatikan kalian, mereka semua hadir untuk memberikan kekuatan. Karenanya, aku selalu suka dengan bintang. Meski tau usaha mereka tidak pernah diapresiasi oleh banyak orang, para bintang akan terus menjalankan tugasnya tanpa kenal lelah. Apa orang yang mereka maksud, bintang tersebut, seperti bintang yang di langit?

Sore hari datang lebih cepat dari perkiraanku. Dengan jantung yang berdegup kencang, kami semua yang di atas sepuluh tahun diwajibkan untuk menyapa keluarga tersebut. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku berdiri di barisan paling depan. Mereka selalu berkata, untuk menjadi yang terendah berarti harus berada di barisan depan. Kini aku harus mengalaminya untuk yang kesekian kali. Entah sampai kapan aku harus menjadi salah satu yang terendah di semua tempat. Bila aku sedikit lebih tinggi, apa mungkin orang-orang akan mempercayai semua ucapan yang keluar dari bibirku? Mereka bisa menyangka kalau aku lebih tua dari umurku.

Scars To Your Beautiful {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang