"Ketika hadirmu menambah semarak cinta ayah dan bunda, penantian ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan"
Sebaik-baiknya Raka menyembunyikan lukanya, tetap saja Nadira bisa mengetahuinya juga. Ada rasa bersalah di hati Raka karena menyembunyikan kejadian tersebut, tetapi alasannya hanya tidak ingin istrinya khawatir lagi.
Namun, sekarang ia tak punya pilihan lain selain menceritakan apa yang terjadi pada istrinya. Nadira hanya mendengarkan sambil tetap mengobati luka Raka.
"Kalau gitu Mas harus benar-benar istirahat. Nasihat dari teman kantor jangan disia-siakan," ucap Nadira dan segera menutup lukanya dengan kasa steril dan hypavix.
"Baik, istriku. Aku manut saja," senyum nakal menghias di bibir Raka.
Nadira yang meliriknya menjadi gemas. Wajah tampan ini selalu mampu membuatnya luluh apalagi dengan senyumannya itu. Apakah mungkin tidak ada wanita di kantornya yang tidak naksir padanya? Tetapi selama ini tidak ada teman yang akrab padanya apalagi wanita? Pikirannya jahat ini menganggu Nadira sesaat, tetapi akhirnya diabaikannya karena ia percaya pada kesetiaan suaminya.
***
Tiga bulan berlalu. Nadira merasakan kepalanya selalu pusing dan mual-mual pada pagi hari. Raka yang melihatnya mulai merasa khawatir.
"Apakah perlu ke dokter, Sweetie? Rasanya Mas nggak tega ninggalin kamu sendirian hari ini?" Kekhawatiran Raka bukan tanpa alasan.
Sudah seminggu ini Nadira tidak napsu makan dan akhir-akhir ini makanannya tidak pernah dihabiskan. Ia menjadi cemas melihat wajah Nadira mulai tampak pucat.
"Nggak perlu. Nanti juga akan baikan. Mas Raka pergi kerja aja. Nad baik-baik saja," Nadira berusaha tersenyum meskipun agak dipaksakan.
"Beneran ya. Kalau ada apa-apa, Mas segera dikabari ya," pinta Raka.
"Iya, Mas," sahut Nadira sambil menyerahkan handuk pada Raka agar segera mandi.Setelah menyiapkan tas kerja dan pakaian kerja yang akan dikenakan suaminya, Nadira memilih untuk berbaring saja. Ia tertidur ketika Raka selesai mandi dan bersiap untuk sarapan. Saat ia ingin membangunkan Nadira, wajah damai itu terasa nyaman dalam tidur lelapnya. Raka merasa tidak tega membangunkannya.
"Sweetie, kita sarapan yukk ...," ajaknya. Suaranya yang pelan di telinga Nadira membuatnya terjaga, tetapi ia malas membuka mata.
"Mas saja ya. Kepalaku masih pusing," sahut Nadira malas.
"Baiklah. Mas pergi dulu ya," ucap Raka.
Tidak ada sahutan. Raka segera keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan. Prasetyo sudah menanti keduanya di meja makan. Ia menatap kedatangan Raka dan tampak mencari sesuatu.
"Mana putriku?" tanyanya heran.
"Nadira masih istirahat, Pa. Katanya nanti akan meyusul. Dia meminta kita untuk sarapan duluan," jawab Raka dengan nada rendah.
Perlahan ia menarik kursi dan segera mengambil makanan yang disajikan Bi Rum.
"Apakah dia sakit?" tanya Prasetyo lagi.
"Ia mengeluh pusing, Pa. Saya berencana ingin membawanya ke dokter, tetapi Nadira tidak mau dan memilih istirahat. Sebentar juga pasti sembuh sendiri katanya," sahut Raka sambil menatap sang mertua.
"Apakah perlu saya bawa juga, Pa?"
"Tidak usah. Kalau dia bilang bisa sembuh sendiri, biarkan saja. Nanti kita lihat saja," ucap Prasetyo menolak lalu kembali menikmati hidangan yang tersaji di meja makan.
Selanjutnya keduanya menikmati sarapan pagi dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The License of Love
RomanceBerawal dari keinginan sang mama ingin melihat Nadira menikah sebelum meninggal dunia. Keinginan itu dipenuhi Nadira dengan Raka, kekasihnya. Pernikahan pun dilakukan secara sederhana. Prasetyo terpaksa menyetujui juga, meskipun sebenarnya tidak. ...