38. Sidang Untuk Mengakhiri

881 79 18
                                    

Jung Jaehyun benar-benar menggantungkan hidupnya hari ini.

Jantungnya berdegup lebih kencang dari apapun. Pertama kalinya, organ vital itu berdentang sekuat ini. Membawa bulir-bulir keringat dingin yang mulai meluncur akibat sergap rasa cemas dan gugupnya yang saling beradu. Ketimbang jatuh cinta, menerima rapor, atau memperoleh peringkat paralel, jantungnya lebih menggila daripada waktu-waktu sebelumnya.

Dadanya kembang kempis. Berusaha meraih pasokan oksigen sebanyak mungkin untuk menenangkan dirinya. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah ketenangan. Meski derap langkah itu menggema, memenuhi rungunya, mengguncang mentalnya, Jung Jaehyun harus selalu kuat. Seperti sosoknya sebelum-sebelumnya. Berdiri kokoh mengalahkan badai.

Kursi-kursi mulai ditempati. Mengerling, Jaehyun bisa menyaksikan kerumunan reporter yang berusaha menyeruak masuk. Sampai akhirnya—greb—pintu ditutup dengan tegas. Memberi penekanan bahwa media-media itu dilarang memotret apapun di dalam sini.

Dililit rasa rindunya, Jaehyun sedikit lebih tenang. Ketika netra gelapnya menangkap presensi seseorang yang selalu ia lindungi. Seseorang yang menghabiskan banyak waktu bersamanya. Seseorang yang berusaha untuk selalu kuat namun sebenarnya penuh dengan kerapuhan. Park Jisung, ada di sana. Menempati salah satu bangku bersama Hyojoo di sampingnya.

Anak itu mengulas senyum tipisnya. Ajaibnya, yang diberikan tatapan dan bonus senyuman itu, seakan disihir untuk menjadi lebih berani dan tetap pada ketenangannya. Membalas, Jaehyun menyunggingkan senyumnya juga.

Tahu-tahu, sebuah tepukan mendarat di pundak kirinya. Jaehyun menoleh, mendapati sang pengacara ikut menyalurkan energi supaya dia tidak dalam kondisi yang mencemaskan.

Yang Seongjin, pengacara dari sebuah firma hukum yang disewa Park Hyojoo, tersenyum samar. "Nggak apa-apa, rileks aja. Aku akan bela kamu sekeras mungkin."

Mengangguk, Jaehyun mengiyakan.

Di seberangnya, hadir pula seorang jaksa yang nampak penuh dengan binar karismanya. Didampingi seorang wanita tua dengan setelan sederhananya. Raut wajahnya nampak datar namun seakan tengah menyembunyikan sesuatu. Adanya saksi lain membuat Jaeyol masih memungkinkan untuk dibela meski sosoknya telah angkat kaki dari bumi ini.

1 menit berikutnya, hakim mulai masuk. Semua orang sontak bangkit berdiri sekedar untuk membungkuk barang beberapa detik. Menghormati posisi sang hakim agung yang berwenang menarik keputusan di akhir sidang.

Membuka sidang, sang hakim ikut membungkuk kecil sebelum suara penuh kewibawaan itu menyusul. "Sidang hari ini akan segera dimulai." Kalimat itu mengudara. Kepalanya menoleh ke sisi kirinya. Membiarkan maniknya bersibobrok bersama si pengacara yang nampak mantap. "Pembela, silahkan berikan pernyataan."

Mengangguk patuh, Seongjin bangkit dari duduknya. Melangkah, berdiri sekokoh pilar di tengah-tengah ruangan. Menambah degup jantung untuk semakin bertalu-talu. "Terima kasih, Yang Mulia." Sekali lagi, tubuhnya membungkuk kecil. Siap mengawali, Seongjin mulai membuka sesi pembelaannya. "Sebelum sampai pada inti, saya akan menjelaskan mengenai kasus ini terlebih dahulu."

Hening sempat menguasai untuk beberapa detik. Di tempatnya, Jaehyun masih berusaha menguasai dirinya sendiri. Menanamkan persepsi-persepsi bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sama seperti apa yang pernah ia lakukan kepada Park Jisung.

"Berdasarkan kasus pembunuhan antar saudara sedarah ini, Jung Jaehyun dinyatakan naik kasta sebagai terdakwa. Kami menerima dan mengakui bahwa bukti yang disertakan; jejak kaki terdakwa, cara bagaimana terdakwa berusaha melarikan diri, atau dukungan dari adanya saksi atas kasus tersebut, memang benar adanya." Seongjin nampak tak gentar di tempatnya. Kemudian ia melanjutkan. "29 September, tepat pada pukul 9 malam, pertikaian itu terjadi. Menurut keterangan sang terdakwa, sang korban—Jung Jaeyol—lah yang lebih dulu memberikan penyerangan. Emosinya terpancing akibat beberapa patah kata yang diucapkan oleh terdakwa. Tapi bukan berarti dengan semua kata-kata itu, terdakwa memacu keributan. Itu terjadi karena ketidaksengajaan, sebab sang korban lebih dulu menganggap itu sebagai keseriusan. Yang terjadi berikutnya, korban mulai menyerang dengan tangannya, melukai terdakwa. Atas dasar perlindungan diri, terdakwa tergerak untuk membalas serangan tersebut. Keduanya saling menyerang, semakin parah ketika korban menggunakan sebuah pecahan beling sebagai senjata."

ATTENTION ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang